TRANSLATE ARTIKEL INI KE DALAM BAHASA LAIN DENGAN MENGKLIK PILIH BAHASA DIBAWAH

Wednesday, 29 September 2021

SILSILAH SAGELE DI TANAH BIMA

 

Sagele adalah sebuah tradisi menanam benih (padi, jagung, dll) di kebun (bukit/lereng gunung) oleh masyarakat Bima dengan diiringi musik biola atau gambus dan lagu khas Bima (kapatu Mbojo)..

Sagele biasa dilakukan saat dimulainya masa bercocok tanam diwilayah Kab/Kota Bima.. Biasanya tradisi sagele ini mudah kita jumpai  ketika mulai masuk musim penghujan...

Kegiatan bercocok tanam dengan sagele dilakukan secara berkelompok yang terdiri dari kaum perempuan yang berjumlah 10 orang atau lebih (tergantung luas kebun) untuk menanam dengan gerakan menanam benih secara bersamaan dengan  mengikuti irama musik sagele yang dimainkan oleh 1 orang laki-laki. Kadang juga kaum perempuan sambil berbalas pantun khas Bima (Kapatu Mbojo) dengan pemain sagele ditengah-tengah proses bercocok tanam. Membuat aktifitas menanam benih tsb semakin bersemangat...

 

Menurut Sejarawan Bima (Alan Malingi) kalau masyarakat Inge Ndai (Sambori, Kuta,Teta,Tarlawi, Kadi, Kaboro dan sekitarnya) menyebutnya dengan Arugele. Malah Arugele di wilayah ini tidak hanya identik dengan prosesi menanam, tapi juga berkaitan dengan upacara dan hajatan hidup dan kematian. Sehingga di wilayah ini dikenallah Arugele Ngguda, Arugele nika ro neku, arugele Suna Ra Ndoso, dan lain-lain.  

Tapi bagi masyarakat di sekitar Lelamase, Ntobo,Ndano Nae dan sebagian wilayah Bima lainnya menyebutnya dengan Sagele.

Sagele dan Arugele adalah tradisi menanam mayarakat Bima yang telah turun temurun dilakukan terutama memasuki musim penghujan.

Yang membedakan Arugele di Sambori dan sekitarnya dengan Sagele adalah pada nyanyian dan iringan alat musiknya. Arugele Ngguda (Arugele menanam) di Sambori dan sekitarnya hanya diiringi senandung Arugele tanpa musik pengiring. Bagi masyarakat Sambori dan sekitarnya, Arugele juga menjadi tarian nyanyian yang berhubungan dengan tanam dan panen. Oleh karena itu, atraksi seni ini biasa digelar di sawah dan huma ketika mulai menanam maupun pada saat panen. Arugele dinyanyikan bersama-sama oleh semua orang yang ada di hamparan ladang yang melakukan prosesi menanam.

Sagele atau Arugele adalah tarian dan nyanyian yang berhubungan dengan tanam dan panen. Oleh karena itu, atraksi seni ini biasa digelar di sawah ketika mulai menanam maupun pada saat panen. Tarian dan nyanyian Arugele dibawakan oleh 10 atau lebih orang perempuan baik dewasa maupun para gadis. Sambil menyanyi mereka memegang tongkat kayu yang ujungnya telah dibuat runcing dan ditancapkan ke tanah. Mereka berbaris dan melakukan gerakan menancapkan kayu yang diruncingkan itu kemudian menaburkan butir-butir padi, jagung atau kedelai ke tanah yang telah mereka lubangi dengan kayu runcing tadi. Sementara kaum lelaki mengikuti alunan langkah mereka untuk merapikan dan menutup kembali tanah yang telah ditaburi bibit tadi.

Di kalangan masyarakat Bima ada sejenis tari yang mirip dengan arugele Donggo Ele, yaitu tari sagele, yang biasanya dipentaskan ketika menanam padi di sawah ladang , kemungkinan tari Sagele berasal dari tari Arugele Donggo Ele. Tari sagele hanya dikenal oleh Orang Bima di Kecamatan Wawo dan sekitarnya, serta di kelurahan Lelamase Kota Bima. Seperti halnya Belaleha, Arugele pun berkembang dan dilantunkan bukan hanya pada saat menanam atau panen, tapi nyanyian Arugele juga dilantunkan pada saat acara khitanan maupun pernikahan.

Sedangkan Sagele diiringi musik Gambo (Sejenis Alat musik petik khas Bima yang ukurannya lebih kecil dari Gambus pada umumnya senar dibuat dari tali pancing)  maupun Biola. Syair yang dilantunkan juga adalah syair Lagu Bima (Rawa Mbojo). Jika Arugele dilantunkan bersama-sama oleh orang-orang yang melakukan prosesi menanam, namun Sagele hanya dilantunak oleh pemain musik (Biola atau Gambo) dengan satu atau dua orang penyanyinya. Sedangkan yang lain melakukan aktifitas menanam secara serentak seirama antara iringan music maupun jatuhnya tongkat ke tanah.

Persiapan   Arugele dan Sagele biasa saja. Tidak ada ritual tertentu yang dilakukan. Beberapa hari sebelum dilakukan upacara tanam biasanya pemilik lahan menghubungi sanak keluarga maupun kerabat yang terdekat maupun yang jauh untuk dilakukan “Pina“. Pina adalah undangan untuk membantu kegiatan tanam maupun panen dengan upah yang disepakati. Upah Pina bisa berupa uang atau hasil panen. Besarnya uang pina berkisar Rp.100 ribu.

Dari salah satu sumber yang saya baca tenyata sagele ini ada silsilahnya dengan daerah Sumatra.

Dalam Bahasa Daerah Bima, Rawa berarti Nyanyian, Sagele berarti Alat yang dipergunakan untuk menanam. Rawa Sagele biasa dilakukan saat dimulainya bercocok tanam oleh masyarakat Bima.

Rawa Sagele adalah sebuah nyanyian tradisonal masyarakat Desa Maria Kec Wawo Kab Bima Prop Nusa Tenggara Barat (NTB) yang hingga saat ini masih utuh dan dilestarikan oleh warga Desa Maria pada setiap saat menanam padi, jagung, kacang-kacangan.  Rawa Sagele adalah warisan Nenek Moyang orang Maria yang hingga saat ini sudah berumur ± 500 tahun.

Munculnya Rawa Sagele di Kecamatan Wawo, berawal dari kebiasaan turun temurun bercocok tanam dengan cara bergotongroyong. Sebelum kegiatan menamam, kaum laki-laki akan mempersiapkan dan membersihkan lahan, lalu menghubungi sanak keluarga, kerabat yang terdekat maupun yang jauh untuk dilakukan “Pina“, yakni undangan untuk membantu kegiatan menanam...

Menurut cerita secara turun temurun dari Nenek Moyang warga Desa Maria, bahwa orang Maria khusunya, pada awalnya berasal dari salah satu daerah di Pulau Sumatra yaitu dari daerah Minang (Minangkabau). Karena peperangan antara suku dengan suku lain, mereka pindah ke pulau Sulawesi (Sulawesi Selatan). Di Sulawesi mereka bermukim di salah satu daerah yang disebut kampung Marioriwawo.

Di Sulawesi juga berperang lagi dengan suku asli Sulawesi. Dengan terpaksa pula pindah dan mencari tempat baru, yaitu di Dana Mbojo (Tanah Bima) ini yaitu di daerah puncak ujung timur pulau Sumbawa ini, dengan tetap memberi nama kampungnya yaitu kampung Maria Wawo. Dari asal nama Mariariwawo.

Jadi Rawa Sagele memang sejak mereka berada di daerah Minang sudah ada. Terbukti sekali sebagai saksi nyata. Bahwa cara melipat Sambolo Songke masyarakat Minang dengan kita di Bima (Maria) hampir sama. Orang Minang memasang Sambolo Songke pada bagian depan. Sedangkan kita (Bima) meletakkan pada bagian samping kepala kita yaitu pada bagian atas telinga.

Untuk mengiringi Rawa Sagele menggunakan alat musik  biola atau gambo yang  dimainkan oleh seorang laki-laki. Seni Rawa Sagele ini akan menarik sekali pada saat  melihat jatuhnya tangan kanan yang menancapkan tembilang (Sagele) ditanah oleh wanita-wanta yang sedang menanam. Kesamaan gerak tangan yang memasukkan bibit pada dilubang tanah sangat serasi sekali dengan nada Rawa Sagele tersebut.

Sagele atau Arugele masih tetap eksis hingga saat ini terutama bagi masyarakat di lereng-lereng pegunungan di Dana Mbojo (Tanah Bima). 

Sagele menggunakan biola:


Sagele menggunkan Gambo:


Bahan Bacaan: 

id.wikipedia.org/wiki/Rawa_Sagele

kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/rawa-segale

alanmalingi.wordpress.com

www.sejarahbima.com

Youtube: 

Nawir Wera Channel 

Muslimin Ahmad

Penyusun: 

M. Al. Furqan

No comments:

Post a Comment

Tulis komentar Anda disini

ANDA PENGUNJUNG KE :

CARI ARTIKEL LAIN DI BLOG INI DENGAN MEMASUKKAN KATA PADA KOLOM SEARCH DIBAWAH