TRANSLATE ARTIKEL INI KE DALAM BAHASA LAIN DENGAN MENGKLIK PILIH BAHASA DIBAWAH
Sunday, 28 November 2021
ASI KALENDE : PINTU MASUKNYA ISLAM DI BIMA
Wednesday, 29 September 2021
SILSILAH SAGELE DI TANAH BIMA
Sagele adalah sebuah tradisi menanam benih (padi, jagung, dll) di kebun (bukit/lereng gunung) oleh masyarakat Bima dengan diiringi musik biola atau gambus dan lagu khas Bima (kapatu Mbojo)..
Sagele biasa dilakukan saat dimulainya masa bercocok tanam diwilayah Kab/Kota Bima.. Biasanya tradisi sagele ini mudah kita jumpai ketika mulai masuk musim penghujan...
Kegiatan bercocok tanam dengan sagele dilakukan secara berkelompok yang terdiri dari kaum perempuan yang berjumlah 10 orang atau lebih (tergantung luas kebun) untuk menanam dengan gerakan menanam benih secara bersamaan dengan mengikuti irama musik sagele yang dimainkan oleh 1 orang laki-laki. Kadang juga kaum perempuan sambil berbalas pantun khas Bima (Kapatu Mbojo) dengan pemain sagele ditengah-tengah proses bercocok tanam. Membuat aktifitas menanam benih tsb semakin bersemangat...
Menurut Sejarawan Bima (Alan Malingi) kalau masyarakat Inge Ndai (Sambori, Kuta,Teta,Tarlawi, Kadi, Kaboro dan sekitarnya) menyebutnya dengan Arugele. Malah Arugele di wilayah ini tidak hanya identik dengan prosesi menanam, tapi juga berkaitan dengan upacara dan hajatan hidup dan kematian. Sehingga di wilayah ini dikenallah Arugele Ngguda, Arugele nika ro neku, arugele Suna Ra Ndoso, dan lain-lain.
Tapi bagi masyarakat di sekitar Lelamase, Ntobo,Ndano Nae dan sebagian wilayah Bima lainnya menyebutnya dengan Sagele.
Sagele dan Arugele adalah tradisi menanam mayarakat Bima yang telah turun temurun dilakukan terutama memasuki musim penghujan.
Yang membedakan Arugele di Sambori dan sekitarnya dengan Sagele adalah pada nyanyian dan iringan alat musiknya. Arugele Ngguda (Arugele menanam) di Sambori dan sekitarnya hanya diiringi senandung Arugele tanpa musik pengiring. Bagi masyarakat Sambori dan sekitarnya, Arugele juga menjadi tarian nyanyian yang berhubungan dengan tanam dan panen. Oleh karena itu, atraksi seni ini biasa digelar di sawah dan huma ketika mulai menanam maupun pada saat panen. Arugele dinyanyikan bersama-sama oleh semua orang yang ada di hamparan ladang yang melakukan prosesi menanam.
Sagele atau Arugele adalah tarian dan nyanyian yang berhubungan dengan tanam dan panen. Oleh karena itu, atraksi seni ini biasa digelar di sawah ketika mulai menanam maupun pada saat panen. Tarian dan nyanyian Arugele dibawakan oleh 10 atau lebih orang perempuan baik dewasa maupun para gadis. Sambil menyanyi mereka memegang tongkat kayu yang ujungnya telah dibuat runcing dan ditancapkan ke tanah. Mereka berbaris dan melakukan gerakan menancapkan kayu yang diruncingkan itu kemudian menaburkan butir-butir padi, jagung atau kedelai ke tanah yang telah mereka lubangi dengan kayu runcing tadi. Sementara kaum lelaki mengikuti alunan langkah mereka untuk merapikan dan menutup kembali tanah yang telah ditaburi bibit tadi.
Di kalangan masyarakat Bima ada sejenis tari yang mirip dengan arugele Donggo Ele, yaitu tari sagele, yang biasanya dipentaskan ketika menanam padi di sawah ladang , kemungkinan tari Sagele berasal dari tari Arugele Donggo Ele. Tari sagele hanya dikenal oleh Orang Bima di Kecamatan Wawo dan sekitarnya, serta di kelurahan Lelamase Kota Bima. Seperti halnya Belaleha, Arugele pun berkembang dan dilantunkan bukan hanya pada saat menanam atau panen, tapi nyanyian Arugele juga dilantunkan pada saat acara khitanan maupun pernikahan.
Sedangkan Sagele diiringi musik Gambo (Sejenis Alat musik petik khas Bima yang ukurannya lebih kecil dari Gambus pada umumnya senar dibuat dari tali pancing) maupun Biola. Syair yang dilantunkan juga adalah syair Lagu Bima (Rawa Mbojo). Jika Arugele dilantunkan bersama-sama oleh orang-orang yang melakukan prosesi menanam, namun Sagele hanya dilantunak oleh pemain musik (Biola atau Gambo) dengan satu atau dua orang penyanyinya. Sedangkan yang lain melakukan aktifitas menanam secara serentak seirama antara iringan music maupun jatuhnya tongkat ke tanah.
Persiapan Arugele dan Sagele biasa saja. Tidak ada ritual tertentu yang dilakukan. Beberapa hari sebelum dilakukan upacara tanam biasanya pemilik lahan menghubungi sanak keluarga maupun kerabat yang terdekat maupun yang jauh untuk dilakukan “Pina“. Pina adalah undangan untuk membantu kegiatan tanam maupun panen dengan upah yang disepakati. Upah Pina bisa berupa uang atau hasil panen. Besarnya uang pina berkisar Rp.100 ribu.
Dari salah satu sumber yang saya baca tenyata sagele ini ada silsilahnya dengan daerah Sumatra.
Dalam Bahasa Daerah Bima, Rawa berarti Nyanyian, Sagele berarti Alat yang dipergunakan untuk menanam. Rawa Sagele biasa dilakukan saat dimulainya bercocok tanam oleh masyarakat Bima.
Rawa Sagele adalah sebuah nyanyian tradisonal masyarakat Desa Maria Kec Wawo Kab Bima Prop Nusa Tenggara Barat (NTB) yang hingga saat ini masih utuh dan dilestarikan oleh warga Desa Maria pada setiap saat menanam padi, jagung, kacang-kacangan. Rawa Sagele adalah warisan Nenek Moyang orang Maria yang hingga saat ini sudah berumur ± 500 tahun.
Munculnya Rawa Sagele di Kecamatan Wawo, berawal dari kebiasaan turun temurun bercocok tanam dengan cara bergotongroyong. Sebelum kegiatan menamam, kaum laki-laki akan mempersiapkan dan membersihkan lahan, lalu menghubungi sanak keluarga, kerabat yang terdekat maupun yang jauh untuk dilakukan “Pina“, yakni undangan untuk membantu kegiatan menanam...
Menurut cerita secara turun temurun dari Nenek Moyang warga Desa Maria, bahwa orang Maria khusunya, pada awalnya berasal dari salah satu daerah di Pulau Sumatra yaitu dari daerah Minang (Minangkabau). Karena peperangan antara suku dengan suku lain, mereka pindah ke pulau Sulawesi (Sulawesi Selatan). Di Sulawesi mereka bermukim di salah satu daerah yang disebut kampung Marioriwawo.
Di Sulawesi juga berperang lagi dengan suku asli Sulawesi. Dengan terpaksa pula pindah dan mencari tempat baru, yaitu di Dana Mbojo (Tanah Bima) ini yaitu di daerah puncak ujung timur pulau Sumbawa ini, dengan tetap memberi nama kampungnya yaitu kampung Maria Wawo. Dari asal nama Mariariwawo.
Jadi Rawa Sagele memang sejak mereka berada di daerah Minang sudah ada. Terbukti sekali sebagai saksi nyata. Bahwa cara melipat Sambolo Songke masyarakat Minang dengan kita di Bima (Maria) hampir sama. Orang Minang memasang Sambolo Songke pada bagian depan. Sedangkan kita (Bima) meletakkan pada bagian samping kepala kita yaitu pada bagian atas telinga.
Untuk mengiringi Rawa Sagele menggunakan alat musik biola atau gambo yang dimainkan oleh seorang laki-laki. Seni Rawa Sagele ini akan menarik sekali pada saat melihat jatuhnya tangan kanan yang menancapkan tembilang (Sagele) ditanah oleh wanita-wanta yang sedang menanam. Kesamaan gerak tangan yang memasukkan bibit pada dilubang tanah sangat serasi sekali dengan nada Rawa Sagele tersebut.
Sagele atau Arugele masih tetap eksis hingga saat ini terutama bagi masyarakat di lereng-lereng pegunungan di Dana Mbojo (Tanah Bima).
Sagele menggunakan biola:
Sagele menggunkan Gambo:
Bahan Bacaan:
id.wikipedia.org/wiki/Rawa_Sagele
kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/rawa-segale
alanmalingi.wordpress.com
www.sejarahbima.com
Penyusun:
M. Al.
Furqan
Monday, 27 September 2021
Maina Made Tak Semanis Madu (Kapatu Mbojo)
Sunday, 26 September 2021
Berbagai Macam Tradisi dan Budaya Bima
Tradisi (kebiasaan) adalah sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama atau kebiasaan yang turun temurun dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Sedangkan Budaya Menurut Ki Hajar Dewantara Budaya merupakan hasil perjuangan masyarakat terhadap zaman dan alam.
Berbicara tentang tradisi dan budaya, maka kita tidak terlepas dari makna adat-istiadat dan karateristik budaya (lokal) yang menjadi ciri khas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Jadi budaya serta adat istiadat itu ada berdasarkan kebiasaan-kebiasaan hidup suatu masyarakat (society) yang melekat dan terus menerus dilakukan.
Berikut beberapa Tardisi dan Kebudayaan yang ada di tanah Bima:
1. Sagele
Sagele adalah sebuah tradisi menanam padi atau jagung di kebun (bukit/lereng gunung) dengan diiringi musik biola atau gambus dan lagu khas Bima..
Sagele biasa dilakukan saat dimulainya bercocok tanam oleh masyarakat Bima yang tinggal di kawasan pegunungan. Kegiatan bercocok tanam menggunakan sagele dilakukan secara berkelompok yang terdiri dari kaum perempuan yang berjumlah 10 orang atau lebih (tergantung luas kebun) untuk menanam dengan gerakan menanam benih secara bersamaan dengan mengikuti irama musik sagele yang dimainkan oleh 1 orang laki-laki. Kadang juga kaum perempuan sambil berbalas pantun khas bima (kapatu mbojo) dengan pemain sagele ditengah-tengah proses bercocok tanam.
Kegiatan ini semata untuk menghibur para pekerja pada saat proses menanam dan juga dengan gerakan seirama tersebut membuat proses menanam lebih cepat selesai serta membuat rasa letih saat menanam seakan tidak terasa...
Di daerah asal saya di Wera, sampai sekarang masih bisa kita jumpai orang yang melakukan proses bercocok tanam dengan Sagele ketika musim hujan akan tiba.
2. Mbolo Kaboro
Salah satunya tradisi pembuka hajatan di Bima ialah ’Mbolo Kaboro’. Dalam bahasa Indonesia Mbolo artinya Lingkar dan Kaboro artinya Kumpul. Menurut hemat saya jika dijabarkan panjang lebar maknawi dari kata “Mbolo Kaboro” ini ialah kita/ masyarakat/ warga sekita berkumpul dan duduk membentuk lingkaran untuk bermusyawarah dan mufakat dalam rangka mendapatkan kesepakatan, solusi, jalan keluar, dari kegiatan yang akan dilakukan nantinya.
’Mbolo Kaboro’ merupakan tradisi permusyawaratan terbuka untuk mengawali suatu hajatan, seperti untuk merencanakan pernikahan, sunatan dan lainnya. Tahapan dalam pelaksanaan Mbolo Kaboro, yakni prosesi “Teka ra Ne’e”, yakni sumbangan kepada keluarga yang berhajat oleh masyarakat, baik dalam bentuk uang ataupun barang seperti beras, kue, minuman dll. Tujuannya agar keluarga yang berhajat tidak menanggung beban sendiri dalam melaksanakan sebuah hajatan. Dalam Mbolo Kaboro, kesepakatan pendapat terkait waktu dan tempat pelaksanaan hajatan dikhususkan para kaum lelaki, sedangkan kaum wanita dikhususkan untuk membicarakan urusan dapur.
Tradisi budaya “Mbolo Kaboro” masih menjadi warisan leluhur Suku Mbojo yang tetap dilestarikan masyarakat Bima sampai saat ini.
3. Hanta Uma
Hanta adalah bahasa Bima yang artinya Angkat (memindahkan) sedangkan Uma berarti Rumah. Sehingga Hanta Uma adalah kegiatan Gotong Royong masyarakat Bima memindahkan rumah.
Rumah yang bisa dipindahkan ini adalah Uma Haju atau rumah kayu (rumah panggung) sebagai tempat tinggal masyarakat Bima. Dalam prosesinya, proses hanta uma ini harus dilakukan oleh banyak orang hingga mencapai puluhan orang. Setiap orang mengambil bagian masing-masing dari 1 buah rumah utuh yang diangkat/ dipindahkan.
Hanta uma ini tidak sembarang dilakukan, harus ada panggita atau ahli khusus untuk mengarahkan warga agar posisi rumah yang diangkat tidak miring bahkan salah tempat. Rumah diangkat dengan menggunakan batangan kayu panjang yang telah diikat pada Ri'i (tiang rumah).
Warga yang ingin memindahkan rumahnya terlebih dahulu menginformasikan kepada warga lain melalui toa masjid. Di situ warga dengan sendirinya berbondong-bondong datang ke tempat rumah yang akan dipindahkan. Setelah selesai memindahkan rumah dari tempat lama ke tempat baru, semua warga kemudian menikmati santapan yang sebelumnya telah disiapkan oleh pemilik rumah. Di moment inilah keakraban warga terjalin erat.
Jadi ingat waktu kecil ketika menyaksikan prosesi Hanta Uma dua (ua) Weo dari Kampo Kiki ke Kalate Koro dan beberapa tahun kemudian di hanta lagi dari Kalate Koro ke Kampo Kiki lagi... itu rumah udah kaya motor aja bolak balik 😀😀😀
4. Rimpu
Rimpu adalah busana wanita berupa sarung tenun khas Bima (Tembe Nggoli) yang digunakan oleh para muslimah di Kesultanan Bima. Kegunaannya adalah sebagai penutup kepala dan bagian tubuh bagian atas. Rimpu terdiri dari dua lembar kain sarung. Sarung pertama digunakan untuk menutupi kepala sehingga yang terliihat hanya bagian muka atau mata saja. Kain kedua diikat di perut dan digunakan sebagai pengganti rok. Rimpu diperkenalkan pertama kali di Bima pada akhir abad ke-17 M.
Budaya Rimpu telah hidup dan berkembang sejak berdirinya Kesultanan Bima. Rimpu sendiri mengandung nilai-nilai khas yang bernuansa Islam. Rimpu untuk perempuan yang belum menikah dengan yang sudah menikah juga dibedakan. Jika perempuan yang belum menikah, maka rimpu dipasang hingga menutupi semua wajah (Rimpu Mpida), hanya memperlihatkan kedua mata. Rimpu model ini sering disebut cadar ala Bima. Dalam kebudayaan masyarakat Bima, wanita yang belum menikah tidak boleh memperlihatkan wajahnya kepada yang bukan Mahramnya. Tetapi untuk perempuan yang sudah menikah, sudah boleh memperlihatkan wajahnya dengan rimpu tersebut (Rimpu Colo). Rimpu model ini pada bagian wajah sudah dibolehkan untuk terbuka atau kelihatan.
Budaya Rimpu (Rimpu=Pemakaian sarung yang menyerupai Ninja dan di pakai sebagai kerudung dengan menggunakan sarung nggoli”) merupakan simbol yang yang selalu ada pada wanita Bima dari zaman dulu, hampir setiap kemana-mana “Rimpu Tembe Nggoli” selalu di kenakan oleh wanita di tanah Bima. Namun seiring perkembangan zaman, apalagi dimasa sekarang ini, Rimpu sangat jarang kita temuai kecuali ketika ada acara-acara adat, karnaval, keagamaan, dll.
Sungguh sangat disayangkan dengan budaya asli Bima yang perlahan-lahan mulai ditinggalkan/hilang.
5. Ntumbu Tuta
Salah satu
budaya Bima yang ikonik dan masih bertahan adalah Ntumbu Tuta (adu kepala).
Budaya dan sekaligus keseniaan ini berlokasi di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima.
Tradisi yang sudah berumur sama dengan keberadaan daerah Bima ini tidak
sembarang orang dapat memainkannya. Hal ini karena perlu dipelajari secara
serius dan mendalam melalui seorang guru. Karena kalau kita asal-asalan bisa-bisa kepala kita berdarah, bengkak, bahkan mungkin pecah 😀😀😀 jangan dicoba, cukup nonton aja Ntumbu Tuta aja..
Sehingga tidak heran, hanya terdiri dari beberapa orang saja yang mampu memerankan tradisi tersebut. Belum lama ini digelar budaya Ntumbu Tuta (adu kepala) untuk menyambut kedatangan Menparekraf Bpk Sandiaga Uno yang datang berkunjung ke Tanah Bima dan mendapat perhatian luas dari masyarakat Bima maupun luar Bima yang banyak menonton.
6. Pacoa Jara
Pacoa Jara atau dalam bahasa Indonesia disebut “Pacuan Kuda” merupakan kebiasaan masyarakat Bima dari zaman dulu sampai sekarang yang masih dilestarikan secara turun temurun. Di Bima paling tidak pacuan kuda diselenggarakan 2 kali setahun, yaitu pada hari-hari besar seperti Hari Proklamasi (Agustus) dan Hari Pemuda (Oktober). Pacuan kuda ini dilaksanakan dalam bentuk kejuaraan, bahkan melibatkan juga peserta dari daerah lain, Dompu, Sumbawa, hingga dari Lombok.
Dalam rangka kejuaraan atau lomba “Pacoa Jara” biasanya sangat banyak peserta yang mendaftar...
Selain di Panda, arena “Pacoa Jara” ada juga di kota Bima dan di Kec Sila.
7. Maja Labo Dahu (Semboyan Budaya)
Masyarakat bima memiliki semboyan budaya yang dikenal dengan istilah “Maja Labo Dahu”. Setiap aturan yang berdasarkan budaya ataupun hasil karya manusia adalah tidak akan pernah lepas dari aturan Tuhan, mulai dari undang-undang Negara sampai pada tataran kebudayaan seperti yang dimilki oleh Bima itu sendiri.
Dalam Bahasa Bima kata Maja berarti Takut, Labo berarti Serta dan Dahu berarti Takut. Jika kita meninjau kata di atas secara semantik atau maknawi, Maja (malu) bermaknakan bahwa orang ataupun masyarakat Bima akan malu ketika melakukan sesuatu diluar daripada koridor tuhan, apakah itu kejahatan, perbuatan dosa dan lain sebagainya baik yang berhubungan dengan manusia ataupun terhadap tuhannya. Dahu (takut), hamper memilki proses interpretasi yang sama dengan kata Malu tersebut. Sama-sama takut ketika melakukan sesuatu kejahatan ataupun keburukan. Sebagai tambahan bahwa, orang Bima akan malu dan takut pulang ke kampung halaman mereka ketika mereka belum berhasil di tanah rantauan.
#ini hanya sebagian, tentu masih ada lagi tradisi dan budaya bima yang lainnya
Penyusun: M. AL. FURQAN
Masuk dan berkembangnya Islam di Bima
Agama Islam diperkirakan mulai masuk ke Kerajaan Bima mulai abad ke-16, di bawa oleh para mubalig dan pedagang dari Demak.
Penyebaran Islam di Bima semakin meluas pada abad ke-17, saat Kesultanan Gowa-Tallo menaklukkan wilayah-wilayah di Nusa Tenggara.
Kerajaan Bima kemudian berubah menjadi kesultanan saat Putra Mahkota La Kai yang bergelar Ruma Ta Ma Bata Wadu masuk Islam.
Setelah masuk Islam, raja ke-27 Kerajaan Bima ini berubah nama menjadi Abdul Kahir.
Sejak saat itu, Islam menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Bima.
Hubungan kekerabatan antara Bima dan Gowa-Tallo juga semakin kuat setelah Sultan Abdul Kahir menikahi adik ipar sultan Gowa-Tallo.
Silsilah Kerajaan Bima dari Awal Hingga Masa Keruntuhan
written by Ratna Utami
Menuliskan Kerajaan Bima sungguh kompleks dalam memisahkan antara legenda maupun kisah nyata. Semua tercampur dan terbungkus cantik dalam cerita turun temurun dari nenek moyang dan serpihan bukti eksistensi disana-sini. Sejarah Kerajaan Bima sulit diketahui karena bukti tertulis yang menceritakan Kerajaan Bima sangat terbatas sebelum masuknya Islam. Tradisi tulis mulai berkembang setelah Kerajaan Bima memeluk agama Islam dan berubah menjadi kesultanan sehingga sejarah Kesultanan Bima dapat diketahui dari berbagai peninggalan masa lalu.
Terletak di ujung timur pulau Sumbawa, Kerajaan Bima yang disebut-sebut sebagai kerajaan tertua di Sumbawa ini memiliki teluk yang dipergunakan sebagai titik jalur persinggahan juga pelayaran para pelaut dan perdagangan. Maka tak heran bila terjadi banyak percampuran budaya serta agama dari para pedagang yang singgah.
Awal Mula Kerajaan Bima
Asal-usul kerajaan bima masih dipenuhi dengan berbagai spekulasi karena belum adanya tradisi menulis ketika awal berdirinya. Sejarah kerajaan bima telah tertulis sejak abad ke 14 pada catatan sejarah Kerajaan Majapahit, di Negarakertagama yang masyhur. Selain itu juga terdapat bukti arkeologi situs Wada Pa`a dan situs Wadu Tunti yang dapat di susuri jejaknya hingga ke Abad 14. Kedua hal ini menjadi bukti kuat eksistensi peradaban Kerajaan Bima di timur Nusantara sejak dahulu.
Pada Negarakertagama, tercatat di 1365 M kerajaan bima telah memiliki pelabuhan besar Saat Raja Mitra Indrati, raja Bima yang ke-7 berkuasa di tahun 1350-1370. Kejayaan Kerajaan Bima terjadi saat Raja Mitra Indratarati menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di pulau Jawa dan menikah dengan wanita dari kerajaan di Jawa, hingga akhirnya beliau wafat di tanah Jawa.
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa Kerajaan Bima merupakan kerajaan lokal bentukan Majapahit, yang di zamannya disebut-sebut merupakan sebuah negara adidaya Nusantara. Hal ini sesuai dengan sumpah yang diikrarkannya di hadapan Ratu Tribhuwana Tunggadewi saat ia diangkat menjadi mahapatih pada tahun 1334 yang hingga kini dikenal sebagai sumpah palapa. Namun teori ini bertentangan dengan perkiraan berdirinya Kerajaan Bima pada tahun 1200 sedangkan Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1293 masehi.
- Menyatunya kerajaan dibawah Bima seorang tokoh dari kayangan
Konon, sejarah kesultanan Bima bermula dari 5 kelompok kecil yang masing-masingnya dipimpin oleh pemimpin yang disebut Ncuhi. Ncuhi ini masing-masing memegang kekuasaan atas 5 wilayah.
1. Ncuhi Dara, memiliki kewenangan kekuasaan wilayah Bima Tengah
2. Ncuhi Parewa, memiliki kewenangan kekuasaan wilayah Bima Selatan
3. Ncuhi Padolo, memiliki kewenangan kekuasaan wilayah Bima Barat
4. Ncuhi Banggapupa, memiliki kewenangan kekuasaan wilayah Bima Utara
5. Ncuhi Dorowani, memiliki kewenangan kekuasaan wilayah Bima Timur.
Ncuhi Dara berlaku sebagai pemimpin dari kelima Ncuhi ini. Menurut legenda, kerajaan bima bermula dari putra keempat dari Maharaja Pandu Dewata yang namanya terkenal dipulau jawa memiliki 5 orang putra yaitu (1) Darmawangsa (2) Sang Bima (3) Sang Arjuna (4) Sang Kula (5) Sang Dewa. Sang putra keempat berlayar ke arah timur dan mendarat di pulau kecil yang bernama Satonda, tepatnya disebelah utara Kecamatan Sanggar. Kedatangan sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, Ia menjadi raja pertama yang memangku gelar Sangaji.
Gambaran tentang Sang Bima selama ini berasal dari Jawa dan sangat ambigu karena tidak ada catatan yang jelas mengenai dirinya berasal dari Jawa, dalam Hikayat Sang Bima diceritakan bahwa Sang Bima datang dari kayangan. Hikayat Sang Bima di karang oleh Wisamarta, seorang dalang dari Jawa saat era kepemimpinan Sultan Hasanuddin (1695-1731). Sehingga pada teori ini Sang Bima adalah tokoh kayangan yang datang dan sendirian menyatukan para pemimpin untuk menjadi suatu kerajaan.
- Menyatunya kerajaan dibawah Bima seorang tokoh dari Pulau Jawa
Teori lain mengatakan kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam melalui pedagang-pedagang dari Gujarat yang mencari rempah-rempah. Mulanya Bima hanya memiliki pemimpin-pemimpin yang mengatur wilayah kecil (sebagaimana Ncuhi) kemudian hadir seorang pemersatu yang bernama Bima dari Pulau Jawa.
- Menyatunya kerajaan dibawah Bima Kerajaan Gowa-Tallo
Kemungkinan selanjutnya adalah masuknya Islam ke Bima melalui ekspedisi Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi untuk menakhlukkan kerajaan-kerajaan di pesisir timur Lombok dan Bima. Hal itu dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo untuk mencegah Belanda yang akan merebut jalur timur setelah berhasil menguasai jalur barat Nusantara. Namun intinya dari ketiga teori tersebut dikataan ada kehadiran dari sang Bima pada abad 11 M yang ikut membantu para ncuhi dalam memajukan Dana Mbojo. Kemudian sejak saat itulah para ncuhi mulai mengenal bentuk pemerintahan kerajaan.
Sultan-sultan Pada Silsilah Kerajaan Bima
1. Sultan Abdul Kahir I (1601-1640M)
Bergelar Rumata Ma Bata Wadu, beliau memiliki dua orang saudara laki-laki bernama Mandudu Wenggu dan Mantau Dana Rabadompu. Beliau memeluk Islam pada usia 20 tahun dan hijrah ke Makassar selama 19 tahun. Tinggal di lingkungan Istana Makassar, Sultan Abdul Kahir menikahi adik permaisuri Sultan Alaudding Makassar dan memeroleh 4 putra. Beliau merintis kesultanan Bima dan dinobatkan pada tahun 1640 masehi sebelum akhirnya mangkat setelah wafat pada 22 Desember 1640. Sumpah beliau yang terkenal dengan sebutan “Sumpah Parapi” berisi pernyataan untuk menjunjung tinggi Agama Islam, siap berkorban jiwa dan raga demi Agama, Rakyat dan Negeri. Tekad beliau adalah membentuk pemerintahan berdasarkan syariat Islam dan bersendi Kitabullah.
2. Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1640-1682)
Silsilah Kerajaan Bima selanjutnya Bergelar Mantau Uma Jati (1627-1682 M) adalah putra dari Sultan Abdul Kahir I dan Permaisuri Daeng Sikontu. Abdul Kahir menolak perjanjian Bongaya hingga beliau menjadi target pengangkapan VOC. Beliau menyempurnakan struktur pemerintahan dengan mendirikan lembaga Sara Hukum yang beranggotakan Ulama dan tokoh agama, dengan demikian roda pemerintahan mulai dijalankan dengan hukum Islam.
3. Sultan Nuruddin (1682-1687)
Adalah putra dari Sultan Khair Sirajuddin (1651-1687) dengan permaisuri Bonto Je’ne. Beliau menciptakan payung kebesaran kesultanan Bima yang dikenal dengan Paju Monca, membentu perang Trunojoyo dan mendirikan perkampungan tambora serta masjid di Jakarta Barat.
4. Sultan Jamaluddin (1687-1696)
Bergelar Sangaji Bolo (1673-1696) adalah putra sulung dari Sultan Nuruddin dan Daeng Tamemang. Beliau menolak kerja sama dengan Belanda hingga Belanda menjebaknya dengan menuduh mua membunuh bibi dari Permaisuri Sultan Dompu hingga beliau ditawan dan meninggal di Penjara Batavia.
5. Sultan Hasanuddin (1689-1731)
Putra pertama Sultan Jamaluddin dan Karaeng Tana-Tana. Selama pemerintahannya beliau mamu mempertahankan kemerdekaan rayat dan negerinya, beliau juga mengadakan pembaruan struktur dan organisasi pemerinth. Sultan Hasanudin juga berhasil memperluas syiar Islam melalui pendekatan seni budaya.
6. Sultan Alauddin Syah (1731-1742)
Bergelar Manuru Daha (1707-1742) beliau melanjutkan perjuangan ayahnnya dengan menjalin hubungan politik, ekonomi serta perdagangan dengan Makassar.
7. Sultan Abdul Qadim, Ma Waa Taho (1742-1773)
8. Sultanah Kumalasyah (Kumala Bumi Partiga). Beliau dibuang ke Srilangka oleh Inggris hingga mangkat (1773-1795).
9. Sultan Abdul Hamid, Mantau Asi Saninu (1795-1819)
10. Sultan Ismail, Ma waa Alu (1819-1854)
11. Sultan Abdullah, Ma waa Adil (1854-1868)
12. Sultan Abdul Azis, Ma Waa Sampela (1868-1881). Beliau wafat pada usia muda.
13. Sultan Ibrahim, Ma Taho Parange (1881-1915).
14. Sultan Muhammad Salahuddin (1915-1951), Ma Kakidi Agama. Mangkat di Jakarta, pemakaman Karet.
15. Sultan Abdul Kahir II, Sultan Bima XV (1945-2001). Masa ini adalah transisi ketika kesultanan bima menjadi wilayah NKRI.
Demikianlah sejarah Kerajaan Bima hingga berubah menjadi Kesultanan Bima serta beberapa teori awal mula berdirinya Kerajaan Bima dapat dikatakan cukup mulus tanpa banyak peperangan serta Silsilah Kerajaan Bima, sebagaimana silsilah kerajaan cirebon. Kecuali beberapa perlawanan terhadap penjajah seperti Belanda dan Inggris. Semoga hal ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu Anda.
Source: sejarahlengkap.com