TRANSLATE ARTIKEL INI KE DALAM BAHASA LAIN DENGAN MENGKLIK PILIH BAHASA DIBAWAH

Sunday, 26 September 2021

Berbagai Macam Tradisi dan Budaya Bima

 

Tradisi (kebiasaan) adalah sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama atau kebiasaan yang turun temurun dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Sedangkan Budaya Menurut Ki Hajar Dewantara Budaya merupakan hasil perjuangan masyarakat terhadap zaman dan alam.

Berbicara tentang tradisi dan budaya, maka kita tidak terlepas dari makna adat-istiadat dan karateristik budaya (lokal) yang menjadi ciri khas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

 

Jadi budaya serta adat istiadat itu ada berdasarkan kebiasaan-kebiasaan hidup suatu masyarakat (society) yang melekat dan terus menerus dilakukan.

 

Berikut beberapa Tardisi dan Kebudayaan yang ada di tanah Bima:

 

1.  Sagele

Sagele adalah sebuah tradisi menanam padi atau jagung di kebun (bukit/lereng gunung) dengan diiringi musik biola atau gambus dan lagu khas Bima..

Sagele biasa dilakukan saat dimulainya bercocok tanam oleh masyarakat Bima yang tinggal di kawasan pegunungan. Kegiatan bercocok tanam menggunakan sagele dilakukan secara berkelompok yang terdiri dari kaum perempuan yang berjumlah 10 orang atau lebih (tergantung luas kebun) untuk menanam dengan gerakan menanam benih secara bersamaan dengan  mengikuti irama musik sagele yang dimainkan oleh 1 orang laki-laki. Kadang juga kaum perempuan sambil berbalas pantun khas bima (kapatu mbojo) dengan pemain sagele ditengah-tengah proses bercocok tanam.

Kegiatan ini semata untuk menghibur para pekerja pada saat proses menanam dan juga dengan gerakan seirama tersebut membuat proses menanam lebih cepat selesai serta membuat rasa letih saat menanam seakan tidak terasa...

Di daerah asal saya di Wera, sampai sekarang masih bisa kita jumpai orang yang melakukan proses bercocok tanam dengan Sagele ketika musim hujan akan tiba.

 

2.  Mbolo Kaboro

Salah satunya tradisi pembuka hajatan di Bima ialah ’Mbolo Kaboro’. Dalam bahasa Indonesia Mbolo artinya Lingkar dan Kaboro artinya Kumpul. Menurut hemat saya jika dijabarkan panjang lebar maknawi dari kata “Mbolo Kaboro” ini ialah kita/ masyarakat/ warga sekita berkumpul dan duduk membentuk lingkaran untuk bermusyawarah dan mufakat dalam rangka mendapatkan kesepakatan, solusi, jalan keluar, dari kegiatan yang akan dilakukan nantinya.

’Mbolo Kaboro’ merupakan tradisi permusyawaratan terbuka untuk mengawali suatu hajatan, seperti untuk merencanakan pernikahan, sunatan dan lainnya. Tahapan dalam pelaksanaan Mbolo Kaboro, yakni prosesi “Teka ra Ne’e”, yakni sumbangan kepada keluarga yang berhajat oleh masyarakat, baik dalam bentuk uang ataupun barang seperti beras, kue, minuman dll. Tujuannya agar keluarga yang berhajat tidak menanggung beban sendiri dalam melaksanakan sebuah hajatan. Dalam Mbolo Kaboro, kesepakatan pendapat terkait waktu dan tempat pelaksanaan hajatan dikhususkan para kaum lelaki, sedangkan kaum wanita dikhususkan untuk membicarakan urusan dapur.

Tradisi budaya “Mbolo Kaboro” masih menjadi warisan leluhur Suku Mbojo yang tetap dilestarikan masyarakat Bima sampai saat ini.

 

3.  Hanta Uma

Hanta adalah bahasa Bima yang artinya Angkat (memindahkan) sedangkan Uma berarti Rumah. Sehingga Hanta Uma adalah kegiatan Gotong Royong masyarakat Bima memindahkan rumah.

Rumah yang bisa dipindahkan ini adalah Uma Haju atau rumah kayu (rumah panggung) sebagai tempat tinggal masyarakat Bima. Dalam prosesinya, proses hanta uma ini harus dilakukan oleh banyak orang hingga mencapai puluhan orang. Setiap orang mengambil bagian masing-masing dari 1 buah rumah utuh yang diangkat/ dipindahkan.

Hanta uma ini tidak sembarang dilakukan, harus ada panggita atau ahli khusus untuk mengarahkan warga agar posisi rumah yang diangkat tidak miring bahkan salah tempat. Rumah diangkat dengan menggunakan batangan kayu panjang yang telah diikat pada Ri'i (tiang rumah).

Warga yang ingin memindahkan rumahnya terlebih dahulu menginformasikan kepada warga lain melalui toa masjid. Di situ warga dengan sendirinya berbondong-bondong datang ke tempat rumah yang akan dipindahkan. Setelah selesai memindahkan rumah dari tempat lama ke tempat baru, semua warga kemudian menikmati santapan yang sebelumnya telah disiapkan oleh pemilik rumah. Di moment inilah keakraban warga terjalin erat.

Jadi ingat waktu kecil ketika menyaksikan prosesi Hanta Uma dua (ua) Weo dari Kampo Kiki ke Kalate Koro dan beberapa tahun kemudian di hanta lagi dari Kalate Koro ke Kampo Kiki lagi... itu rumah udah kaya motor aja bolak balik 😀😀😀

 

4.  Rimpu

Rimpu adalah busana wanita berupa sarung tenun khas Bima (Tembe Nggoli) yang digunakan oleh para muslimah di Kesultanan Bima. Kegunaannya adalah sebagai penutup kepala dan bagian tubuh bagian atas. Rimpu terdiri dari dua lembar kain sarung. Sarung pertama digunakan untuk menutupi kepala sehingga yang terliihat hanya bagian muka atau mata saja. Kain kedua diikat di perut dan digunakan sebagai pengganti rok. Rimpu diperkenalkan pertama kali di Bima pada akhir abad ke-17 M.

Budaya Rimpu telah hidup dan berkembang sejak berdirinya Kesultanan Bima. Rimpu sendiri mengandung nilai-nilai khas yang bernuansa Islam. Rimpu untuk perempuan yang belum menikah dengan yang sudah menikah juga dibedakan. Jika perempuan yang  belum menikah, maka rimpu dipasang hingga menutupi semua wajah (Rimpu Mpida), hanya memperlihatkan kedua mata. Rimpu model ini sering disebut cadar ala Bima. Dalam kebudayaan masyarakat Bima, wanita yang belum menikah tidak boleh memperlihatkan wajahnya kepada yang bukan Mahramnya. Tetapi untuk perempuan yang sudah menikah, sudah boleh memperlihatkan wajahnya dengan rimpu tersebut (Rimpu Colo). Rimpu model ini pada bagian wajah sudah dibolehkan untuk terbuka atau kelihatan.

Budaya Rimpu (Rimpu=Pemakaian sarung yang menyerupai Ninja dan di pakai sebagai kerudung dengan menggunakan sarung nggoli”) merupakan simbol yang yang selalu ada pada wanita Bima dari zaman dulu, hampir setiap kemana-mana “Rimpu Tembe Nggoli” selalu di kenakan oleh wanita di tanah Bima. Namun seiring perkembangan zaman, apalagi dimasa sekarang ini, Rimpu sangat jarang kita temuai kecuali ketika ada acara-acara adat, karnaval, keagamaan, dll.

Sungguh sangat disayangkan dengan budaya asli Bima yang perlahan-lahan mulai ditinggalkan/hilang.

 

5.  Ntumbu Tuta

Salah satu budaya Bima yang ikonik dan masih bertahan adalah Ntumbu Tuta (adu kepala). Budaya dan sekaligus keseniaan ini berlokasi di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima. Tradisi yang sudah berumur sama dengan keberadaan daerah Bima ini tidak sembarang orang dapat memainkannya. Hal ini karena perlu dipelajari secara serius dan mendalam melalui seorang guru. Karena kalau kita asal-asalan bisa-bisa kepala kita berdarah, bengkak, bahkan mungkin pecah 😀😀😀 jangan dicoba, cukup nonton aja Ntumbu Tuta aja..

Sehingga tidak heran, hanya terdiri dari beberapa orang saja yang mampu memerankan tradisi tersebut. Belum lama ini digelar budaya Ntumbu Tuta (adu kepala) untuk menyambut kedatangan Menparekraf Bpk Sandiaga Uno yang datang berkunjung ke Tanah Bima  dan mendapat perhatian luas dari masyarakat Bima maupun luar Bima yang banyak menonton.

 

6.  Pacoa Jara

Pacoa Jara atau dalam bahasa Indonesia disebut “Pacuan Kuda” merupakan kebiasaan masyarakat Bima dari zaman dulu sampai sekarang yang masih dilestarikan secara turun temurun. Di Bima paling tidak pacuan kuda diselenggarakan 2 kali setahun, yaitu pada hari-hari besar seperti Hari Proklamasi (Agustus) dan Hari Pemuda (Oktober). Pacuan kuda ini dilaksanakan dalam bentuk kejuaraan, bahkan melibatkan juga peserta dari daerah lain, Dompu, Sumbawa, hingga dari Lombok.

Dalam rangka kejuaraan atau lomba “Pacoa Jara” biasanya sangat banyak peserta yang mendaftar...

Selain di Panda, arena “Pacoa Jara” ada juga di kota Bima dan di Kec Sila. 

 

7.  Maja Labo Dahu (Semboyan Budaya)

Masyarakat bima memiliki semboyan budaya yang dikenal dengan istilah “Maja Labo Dahu”. Setiap aturan yang berdasarkan budaya ataupun hasil karya manusia adalah tidak akan pernah lepas dari aturan Tuhan, mulai dari undang-undang Negara sampai pada tataran kebudayaan seperti yang dimilki oleh Bima itu sendiri.

Dalam Bahasa Bima kata Maja berarti Takut, Labo berarti Serta dan Dahu berarti Takut. Jika kita meninjau kata di atas secara semantik atau maknawi, Maja (malu) bermaknakan bahwa orang ataupun masyarakat Bima akan malu ketika melakukan sesuatu diluar daripada koridor tuhan, apakah itu kejahatan, perbuatan dosa dan lain sebagainya baik yang berhubungan dengan manusia ataupun terhadap tuhannya. Dahu (takut), hamper memilki proses interpretasi yang sama dengan kata Malu tersebut. Sama-sama takut ketika melakukan sesuatu kejahatan ataupun keburukan. Sebagai tambahan bahwa, orang Bima akan malu dan takut pulang ke kampung halaman mereka ketika mereka belum berhasil di tanah rantauan.

 

 #ini hanya sebagian, tentu masih ada lagi tradisi dan budaya bima yang lainnya

 

Penyusun: M. AL. FURQAN

No comments:

Post a Comment

Tulis komentar Anda disini

ANDA PENGUNJUNG KE :

CARI ARTIKEL LAIN DI BLOG INI DENGAN MEMASUKKAN KATA PADA KOLOM SEARCH DIBAWAH