Evolusi (dalam kajian biologi) berarti perubahan pada
sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga
proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi. Sifat-sifat yang menjadi dasar
evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan suatu makhluk hidup dan
menjadi bervariasi dalam suatu populasi. Ketika organisme bereproduksi,
keturunannya akan mempunyai sifat-sifat yang baru. Sifat baru dapat diperoleh
dari perubahan gen akibat mutasi ataupun transfer gen antar populasi
dan antar spesies. Pada spesies yang bereproduksi
secara seksual,
kombinasi gen yang baru juga dihasilkan oleh rekombinasi
genetika,
yang dapat meningkatkan variasi antara organisme. Evolusi terjadi ketika
perbedaan-perbedaan terwariskan ini menjadi lebih umum atau langka dalam suatu
populasi.
Evolusi didorong oleh dua mekanisme
utama, yaitu seleksi alam dan hanyutan
genetik.
Seleksi alam merupakan sebuah proses yang menyebabkan sifat terwaris yang
berguna untuk keberlangsungan hidup dan reproduksi organisme menjadi lebih umum
dalam suatu populasi - dan sebaliknya, sifat yang merugikan menjadi lebih
berkurang. Hal ini terjadi karena individu dengan sifat-sifat yang
menguntungkan lebih berpeluang besar bereproduksi, sehingga lebih banyak
individu pada generasi selanjutnya yang mewarisi sifat-sifat yang menguntungkan
ini.[1][2] Setelah beberapa generasi,
adaptasi terjadi melalui kombinasi
perubahan kecil sifat yang terjadi secara terus menerus dan acak ini dengan
seleksi alam.[3] Sementara itu, hanyutan
genetik (Bahasa Inggris: Genetic Drift) merupakan sebuah proses bebas
yang menghasilkan perubahan acak pada frekuensi sifat suatu populasi. Hanyutan
genetik dihasilkan oleh probabilitas apakah suatu sifat akan diwariskan ketika
suatu individu bertahan hidup dan bereproduksi.
Walaupun perubahan yang dihasilkan
oleh hanyutan dan seleksi alam kecil, perubahan ini akan berakumulasi dan
menyebabkan perubahan yang substansial pada organisme. Proses ini mencapai
puncaknya dengan menghasilkan spesies yang baru.[4] Dan sebenarnya, kemiripan
antara organisme yang satu dengan organisme yang lain mensugestikan bahwa semua
spesies yang kita kenal berasal dari nenek moyang yang sama melalui proses
divergen yang terjadi secara perlahan ini.[1]
Dokumentasi fakta-fakta terjadinya
evolusi dilakukan oleh cabang biologi yang dinamakan biologi
evolusioner.
Cabang ini juga mengembangkan dan menguji teori-teori yang menjelaskan penyebab evolusi. Kajian catatan fosil dan keanekaragaman
hayati
organisme-organisme hidup telah meyakinkan para ilmuwan pada pertengahan abad
ke-19 bahwa spesies berubah dari waktu ke waktu.[5][6] Namun, mekanisme yang
mendorong perubahan ini tetap tidaklah jelas sampai pada publikasi tahun 1859
oleh Charles Darwin, On
the Origin of Species yang menjelaskan dengan detail teori evolusi melalui seleksi alam.[7] Karya Darwin dengan segera
diikuti oleh penerimaan teori evolusi dalam komunitas ilmiah.[8][9][10][11] Pada tahun 1930, teori
seleksi alam Darwin digabungkan dengan teori pewarisan Mendel, membentuk sintesis
evolusi modern,[12] yang menghubungkan satuan
evolusi (gen) dengan mekanisme evolusi (seleksi alam). Kekuatan
penjelasan dan prediksi teori ini mendorong riset yang secara terus menerus
menimbulkan pertanyaan baru, di mana hal ini telah menjadi prinsip pusat
biologi modern yang memberikan penjelasan secara lebih menyeluruh tentang keanekaragaman hayati di bumi.[9][10][13]
Meskipun teori evolusi selalu
diasosiasikan dengan Charles Darwin, namun sebenarnya biologi
evolusioner
telah berakar sejak zaman Aristoteles. Namun demikian, Darwin
adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak
terbukti mapan menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin
mengenai evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas
komunitas sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi.[
PENDAPAT DARWIN
Teori
evolusi menyatakan bahwa semua makhluk hidup yang beraneka ragam berasal dari
satu nenek moyang yang sama. Menurut teori ini, kemunculan makhluk hidup yang
begitu beragam terjadi melalui variasi-variasi kecil dan bertahap dalam rentang
waktu yang sangat lama. Teori ini menyatakan bahwa awalnya makhluk hidup bersel
satu terbentuk. Selama ratusan juta tahun kemudian, makhluk bersel satu ini
berubah menjadi ikan dan hewan invertebrata (tak bertulang belakang) yang hidup
di laut. Ikan-ikan ini kemudian diduga muncul ke daratan dan berubah menjadi
reptil. Dongeng ini pun terus berlanjut, dan seterusnya sampai pada pernyataan
bahwa burung dan mamalia berevolusi dari reptil.
Seandainya pendapat ini benar, mestinya terdapat sejumlah besar “spesies
peralihan” (juga disebut sebagai spesies antara, atau spesies mata rantai) yang
menghubungkan satu spesies dengan spesies yang lain yang menjadi nenek
moyangnya. Misalnya, jika reptil benar-benar telah berevolusi menjadi burung,
maka makhluk separuh-burung separuh-reptil dengan jumlah berlimpah mestinya
pernah hidup di masa lalu. Di samping itu, makhluk peralihan ini mestinya
memiliki organ dengan bentuk yang belum sempurna atau tidak lengkap. Darwin
menamakan makhluk dugaan ini sebagai “bentuk-bentuk peralihan antara”.
Skenario evolusi juga mengatakan bahwa ikan, yang berevolusi dari invertebrata,
di kemudian hari merubah diri mereka sendiri menjadi amfibi yang dapat hidup di
darat. (Amfibi adalah hewan yang dapat hidup di darat dan di air, seperti
katak). Tapi, sebagaimana yang ada dalam benak Anda, skenario ini pun tidak
memiliki bukti. Tak satu fosil pun yang menunjukkan makhluk separuh ikan
separuh amfibi pernah ada.
Dia saat mengemukakan teori ini, ia tidak dapat menunjukkan bukti-bukti fosil
bentuk peralihan ini. Dengan kata lain, Darwin sekedar menyampaikan dugaan yang
tanpa disertai bukti.
COELACANTH TERNYATA MASIH HIDUP
Hingga 70 tahun yang lalu, evolusionis mempunyai fosil ikan yang mereka yakini
sebagai "nenek moyang hewan-hewan darat". Namun, perkembangan ilmu
pengetahuan meruntuhkan seluruh pernyataan evolusionis tentang ikan ini.
Ketiadaan fosil bentuk peralihan antara ikan dan amfibi adalah fakta yang juga
diakui oleh para evolusionis hingga kini. Namun, sampai sekitar 70 tahun yang
lalu, fosil ikan yang disebut coelacanth diterima sebagai bentuk peralihan
antara ikan dan hewan darat. Evolusionis menyatakan bahwa coelacanth, yang
diperkirakan berumur 410 juta tahun, adalah bentuk peralihan yang memiliki
paru-paru primitif, otak yang telah berkembang, sistem pencernaan dan peredaran
darah yang siap untuk berfungsi di darat, dan bahkan mekanisme berjalan yang
primitif. Penafsiran evolusi ini diterima sebagai kebenaran yang tak perlu
diperdebatkan lagi di dunia ilmiah hingga akhir tahun 1930-an.
Namun,
pada tanggal 22 Desember 1938, penemuan yang sangat menarik terjadi di Samudra
Hindia. Seekor ikan dari famili coelacanth, yang sebelumnya diajukan sebagai
bentuk peralihan yang telah punah 70 juta tahun yang lalu, berhasil ditangkap
hidup-hidup! Tak diragukan lagi, penemuan ikan coelacanth "hidup" ini
memberikan pukulan hebat bagi para evolusionis. Ahli paleontologi evolusionis,
J. L. B. Smith, mengatakan ia tidak akan terkejut lagi jika bertemu dengan
seekor dinosaurus yang masih hidup. (Jean-Jacques Hublin, The Hamlyn
Encyclopædia of Prehistoric Animals, New York: The Hamlyn Publishing Group
Ltd., 1984, hal. 120). Pada tahun-tahun berikutnya, 200 ekor coelacanth
berhasil ditangkap di berbagai tempat berbeda di seluruh dunia.
BERAKHIRNYA SEBUAH MITOS
Coelacanth
ternyata masih hidup! Tim yang menangkap coelacanth hidup pertama di Samudra
Hindia pada tanggal 22 Desember 1938 terlihat di sini bersama ikan tersebut
Keberadaan
coelacanth yang masih hidup mengungkapkan sejauh mana evolusionis dapat
mengarang skenario khayalan mereka. Bertentangan dengan pernyataan mereka,
coelacanth ternyata tidak memiliki paru-paru primitif dan tidak pula otak yang
besar. Organ yang dianggap oleh peneliti evolusionis sebagai paru-paru primitif
ternyata hanyalah kantung lemak. (Jacques Millot, "The Coelacanth",
Scientific American, Vol 193, December 1955, hal. 39). Terlebih lagi,
coelacanth, yang dikatakan sebagai "calon reptil yang sedang bersiap
meninggalkan lautan untuk menuju daratan", pada kenyataannya adalah ikan
yang hidup di dasar samudra dan tidak pernah mendekati rentang kedalaman 180
meter dari permukaan laut. (Bilim ve Teknik (Science and Technology), November
1998, No. 372, hal. 21).
MANUSIA
BERAHANG KERA
Tengkorak Manusia Piltdown
dikemukakan kepada dunia selama lebih dari 40 tahun sebagai bukti terpenting
terjadinya "evolusi manusia". Akan tetapi, tengkorak ini ternyata
hanyalah sebuah kebohongan ilmiah terbesar dalam sejarah.
Rekonstruksi
tengkorak manusia Piltdown yang pernah
diperlihatkan di berbagai museum
Pada
tahun 1912, seorang dokter terkenal yang juga ilmuwan paleoantropologi amatir,
Charles Dawson, menyatakan dirinya telah menemukan satu tulang rahang dan satu
fragmen tengkorak dalam sebuah lubang di Piltdown, Inggris. Meskipun tulang
rahangnya lebih menyerupai kera, gigi dan tengkoraknya menyerupai manusia.
Spesimen ini diberi nama "Manusia Piltdwon". Fosil ini diyakini
berumur 500.000 tahun, dan dipamerkan di berbagai museum sebagai bukti nyata
evolusi manusia. Selama lebih dari 40 tahun, banyak artikel ilmiah telah
ditulis tentang "Manusia Piltdown", sejumlah besar penafsiran dan
gambar telah dibuat, dan fosil ini diperlihatkan sebagai bukti penting evolusi
manusia. Tidak kurang dari 500 tesis doktoral telah ditulis tentang masalah
ini. (Malcolm Muggeridge, The End of Christendom, Grand Rapids, Eerdmans, 1980,
hal. 59.)
Pada
tahun 1949, Kenneth Oakley dari departemen paleontologi British Museum mencoba
melakukan "uji fluorin", sebuah cara uji baru untuk menentukan umur
sejumlah fosil kuno. Pengujian dilakukan pada fosil Manusia Piltdown. Hasilnya
sungguh mengejutkan. Selama pengujian, diketahui ternyata tulang rahang Manusia
Piltdown tidak mengandung fluorin sedikit pun. Ini menunjukkan tulang tersebut
telah terkubur tak lebih dari beberapa tahun yang lalu. Sedangkan tengkoraknya,
yang mengandung sejumlah kecil fluorin, menunjukkan umurnya hanya beberapa ribu
tahun.
Penelitian
lebih lanjut mengungkapkan bahwa Manusia Piltdown merupakan penipuan ilmiah
terbesar dalam sejarah. Ini adalah tengkorak buatan; tempurungnya berasal dari
seorang lelaki yang hidup 500 tahun yang lalu, dan tulang rahangnya adalah
milik seekor kera yang belum lama mati! Kemudian gigi-giginya disusun dengan
rapi dan ditambahkan pada rahang tersebut, dan persendi-annya diisi agar
menyerupai pada manusia. Kemudian seluruh bagian ini diwarnai dengan potasium
dikromat untuk memberinya penampakan kuno.
Le
Gros Clark, salah seorang anggota tim yang mengungkap pemalsuan ini, tidak
mampu menyembunyikan keterkejutannya dan mengatakan: "bukti-bukti abrasi
tiruan segera tampak di depan mata. Ini terlihat sangat jelas sehingga perlu
dipertanyakan - bagaimana hal ini dapat luput dari penglihatan sebelumnya?"
(Stephen Jay Gould, "Smith Woodward's Folly", New Scientist, 5 April
1979, hal. 44) Ketika kenyataan ini terungkap, "Manusia Piltdown"
dengan segera dikeluarkan dari British Museum yang telah memamerkannya selama
lebih dari 40 tahun.
Manusia
Piltdown merupakan pemalsuan yang dilakukan dengan merekatkan rahang kera pada
tengkorak manusia
Skandal
Piltdown dengan jelas memperlihat-kan bahwa tidak ada yang dapat menghentikan
para evolusionis dalam rangka membuktikan teori-teori mereka. Bahkan, skandal
ini menunjukkan para evolusionis tidak memiliki penemuan apa pun yang mendukung
teori mereka. Karena mereka tidak memiliki bukti apa pun, mereka memilih untuk
membuatnya sendiri.
KEKELIRUAN PEMIKIRAN TENTANG REKAPITULASI
Teori Haeckel ini menganggap bahwa embrio hidup mengalami
ulangan proses evolusi seperti yang dialami moyang-palsunya. Haeckel berteori
bahwa selama perkembangan di dalam rahim ibunya, embrio manusia kali pertama
memperlihatkan sifat-sifat seekor ikan, lalu reptil, dan akhirnya manusia.
Sejak itu telah dibuktikan bahwa teori ini sepenuhnya
omong kosong. Kini telah diketahui bahwa “insang-insang” yang disangka muncul
pada tahap-tahap awal embrio manusia ternyata adalah taraf-taraf awal saluran
telinga dalam, kelenjar paratiroid, dan kelenjar gondok. Bagian embrio yang
diserupakan dengan “kantung kuning telur” ternyata kantung yang menghasilkan
darah bagi si janin. Bagian yang dikenali sebagai “ekor” oleh Haeckel dan para
pengikutnya sebenarnya tulang belakang, yang mirip ekor hanya karena tumbuh
mendahului kaki.
Inilah
fakta-fakta yang diterima luas di dunia lmiah, dan bahkan telah diterima oleh
para evolusionis sendiri. Dua pemimpin neo-Darwinis, George Gaylord Simpson dan
W. Beck telah mengakui:
Haeckel keliru menyatakan azas evolusi yang terlibat. Kini telah benar-benar
diyakini bahwa ontogeni tidak mengulangi filogeni
Segi menarik
lain dari “rekapitulasi” adalah Ernst Haeckel sendiri, seorang pemalsu yang
mereka-reka gambar-gambar demi mendukung teori yang diajukannya. Pemalsuan
Haeckel bermaksud menunjukkan bahwa embrio-embrio ikan dan manusia mirip satu
sama lain.
Pada terbitan 5 September 1997 majalah ilmiah Science,
sebuah artikel diterbitkan yang mengungkapkan bahwa gambar-gambar embrio
Haeckel adalah karya penipuan. Artikel berjudul “Haeckel’s Embryos: Fraud
Rediscovered” (Embrio-embrio Haeckel: Mengungkap Ulang Sebuah Penipuan) ini
mengatakan:
Kesan yang dipancarkan [gambar-gambar Haeckel] itu, bahwa
embrio-embrio persis serupa, adalah keliru, kata Michael Richardson, seorang
ahli embriologi pada St. George’s Hospital Medical School di London… Maka, ia
dan para sejawatnya melakukan penelitian perbandingan, memeriksa kembali dan
memfoto embrio-embrio yang secara kasar sepadan spesies dan umurnya dengan yang
dilukis Haeckel. Sim
salabim dan perhatikan! Embrio-embrio “sering dengan mengejutkan tampak
berbeda,” lapor Richardson dalam Anatomy and Embryology terbitan Agustus
[1997].
Pada terbitan 5 September 1997, majalah terkemuka Science
menyajikan sebuah artikel yang menyingkapkan bahwa gambar-gambar embrio milik
Haeckel telah dipalsukan. Artikel ini menggambarkan bagaimana embrio-embrio
sebenarnya sangat berbeda satu sama lain...
Penelitian
di tahun-tahun terakhir telah menunjukkan bahwa embrio-embrio dari spesies yang
berbeda tidak saling mirip, seperti yang ditunjukkan Haeckel. Perbedaan besar
di antara embrio-embrio mamalia, reptil, dan kelelawar di atas adalah contoh
nyata hal ini
Science
menjelaskan bahwa, demi menunjukkan bahwa embrio-embrio memiliki kemiripan,
Haeckel sengaja menghilangkan beberapa organ dari gambar-gambarnya atau
menambahkan organ-organ khayalan. Belakangan, di dalam artikel yang sama,
informasi berikut ini diungkapkan:
Bukan
hanya menambahkan atau mengurangi ciri-ciri, lapor Richardson dan para
sejawatnya, namun Haeckel juga mengubah-ubah ukuran untuk membesar-besarkan
kemiripan di antara spesies-spesies, bahkan ketika ada perbedaan 10 kali dalam
ukuran. Haeckel mengaburkan perbedaan lebih jauh dengan lalai menamai spesies
dalam banyak kesempatan, seakan satu wakil sudah cermat bagi keseluruhan
kelompok hewan. Dalam kenyataannya, Richardson dan para sejawatnya mencatat, bahkan
embrio-embrio hewan yang berkerabat dekat seperti ikan cukup beragam dalam
penampakan dan urutan perkembangannya.
Artikel
Science membahas bagaimana pengakuan-pengakuan Haeckel atas masalah ini
ditutup-tutupi sejak awal abad ke-20, dan bagaimana gambar-gambar palsu ini
mulai disajikan sebagai fakta ilmiah di dalam buku-buku acuan:
Pengakuan
Haeckel lenyap setelah gambar-gambarnya kemudian digunakan dalam sebuah buku
tahun 1901 berjudul Darwin and After Darwin (Darwin dan Sesudahnya) dan dicetak
ulang secara luas di dalam buku-buku acuan biologi berbahasa Inggris.
Singkatnya,
fakta bahwa gambar-gambar Haeckel dipalsukan telah muncul di tahun 1901, tetapi
seluruh dunia ilmu pengetahuan terus diperdaya olehnya selama satu abad.
TATKALA
MANUSIA MENCARI NENEK MOYANGNYA
Walaupun
para evolusionis tidak berhasil menemukan bukti ilmiah untuk mendukung teori
mereka, mereka sangat berhasil dalam satu hal: propaganda. Unsur paling penting
dari propaganda ini adalah gambar-gambar palsu dan bentuk tiruan yang dikenal
dengan "rekonstruksi".
Rekonstruksi
dapat diartikan sebagai membuat lukisan atau membangun model makhluk hidup
berdasarkan satu potong tulang yang ditemukan dalam penggalian.
"Manusia-manusia kera" yang kita lihat di koran, majalah atau film
semuanya adalah rekonstruksi.
Ketika
mereka tidak mampu menemukan makhluk "setengah manusia setengah kera"
dalam catatan fosil, mereka memilih membohongi masyarakat dengan membuat
gambar-gambar palsu.
Persis
seperti pernyataan evolusionis yang lain tentang asal-usul makhluk hidup,
pernyataan mereka tentang asal-usul manusia pun tidak memiliki landasan ilmiah.
Berbagai penemuan menunjukkan bahwa "evolusi manusia" hanyalah
dongeng belaka.
Darwin
mengemukakan pernyataannya bahwa manusia dan kera berasal dari satu nenek
moyang yang sama dalam bukunya The Descent of Man yang terbit tahun 1971. Sejak
saat itu, para pengikut Darwin telah berusaha untuk memperkuat kebenaran
pernyataan tersebut. Tetapi, walaupun telah melakukan berbagai penelitian,
pernyataan "evolusi manusia" belum pernah dilandasi oleh penemuan
ilmiah yang nyata, khususnya di bidang fosil.
Penemuan ini jelas menunjukkan pendapat tentang sifat-sifat perolehan yang
terkumpul dari satu keturunan ke turunan berikutnya, sehingga memunculkan
spesies baru, tidaklah mungkin. Dengan kata lain, mekanisme seleksi alam
rumusan Darwin tidak berkemampuan mendorong terjadinya evolusi. Jadi, teori
evolusi Darwin sesungguhnya telah ambruk sejak awal di abad ke-20 dengan
ditemukannya ilmu genetika. Segala upaya lain dari para pendukung evolusi di
abad ke-20 selalu gagal.
Teori
evolusi menyatakan bahwa kelompok makhluk hidup yang berbeda-beda (filum)
terbentuk dan berkembang dari satu nenek moyang bersama, dan berubah menjadi
bentuk yang semakin berbeda satu sama lain seiring berlalunya waktu. Gambar
paling atas menampilkan pernyataan ini, yang dapat digambarkan menyerupai
proses percabangan pohon. Namun, fakta catatan fosil malah membuktikan
kebalikannya. Sebagaimana diperlihatkan gambar paling bawah, beragam kelompok
makhluk hidup muncul serentak dan tiba-tiba dengan ciri tubuh masing-masing
yang khas. Sekitar 100 filum mendadak muncul di zaman Kambrium. Setelah itu,
jumlah mereka menurun (karena punahnya sejumlah filum) , dan bukannya
meningkat.
YANG TERSEMBUNYI DI BALIK PERCOBAAN
MILLER
Penelitian
yang paling diterima luas tentang asal usul kehidupan adalah percobaan yang
dilakukan peneliti Amerika, Stanley Miller, di tahun 1953. (Percobaan ini juga
dikenal sebagai “percobaan Urey-Miller” karena sumbangsih pembimbing Miller di
University of Chicago, Harold Urey). Percobaan inilah satu-satunya “bukti”
milik para evolusionis yang digunakan untuk membuktikan pendapat tentang
“evolusi kimiawi”. Mereka mengemukakannya sebagai tahapan awal proses evolusi
yang mereka yakini, yang akhirnya memunculkan kehidupan.
Melalui
percobaan, Stanley Miller bertujuan membuktikan bahwa di bumi yang tak
berkehidupan miliaran tahun lalu, asam amino, satuan molekul pembentuk protein,
dapat terbentuk dengan sendirinya secara alamiah tanpa campur tangan sengaja
apa pun di luar kekuatan alam. Dalam percobaannya, Miller menggunakan campuran
gas yang ia yakini terdapat pada bumi purba (yang kemudian terbukti tidak
tepat). Campuran ini terdiri dari gas amonia, metana, hidrogen, dan uap air.
Karena gas-gas ini takkan saling bereaksi dalam lingkungan alamiah, ia
menambahkan energi ke dalamnya untuk memicu reaksi antar gas-gas tersebut.
Dengan beranggapan energi ini dapat berasal dari petir pada atmosfer purba, ia
menggunakan arus listrik untuk tujuan tersebut.
Atmosfer
purba yang Miller coba tiru dalam percobaannya tidaklah sesuai dengan
kenyataan. Di tahun 1980-an, para ilmuwan sepakat bahwa seharusnya gas nitrogen
dan karbon dioksidalah yang digunakan dalam lingkungan buatan itu dan bukan
metana serta amonia.
Ilmuwan Amerika, J. P. Ferris dan C. T. Chen mengulangi percobaan Miller dengan
menggunakan lingkungan atmosfer yang berisi karbon dioksida, hidrogen,
nitrogen, dan uap air; dan mereka tidak mampu mendapatkan bahkan satu saja
molekul asam amino. (J. P. Ferris, C. T. Chen, "Photochemistry of Methane,
Nitrogen, and Water Mixture As a Model for the Atmosphere of the Primitive
Earth," Journal of American Chemical Society, vol. 97:11, 1975, h. 2964.)
Terdapat sejumlah temuan yang menunjukkan bahwa kadar oksigen di atmosfer kala
itu jauh lebih tinggi daripada yang sebelumnya dinyatakan para evolusionis.
Berbagai penelitian juga menunjukkan, jumlah radiasi ultraviolet yang kala itu
mengenai bumi adalah 10.000 lebih tinggi daripada perkiraan para evolusionis.
Radiasi kuat ini dipastikan telah membebaskan oksigen dengan cara menguraikan
uap air dan karbon dioksida di atmosfer.
Keadaan ini sama sekali bertentangan dengan percobaan Miller, di mana oksigen
sama sekali diabaikan. Jika oksigen digunakan dalam percobaannya, metana akan
teruraikan menjadi karbon dioksida dan air, dan amonia akan menjadi nitrogen
dan air. Sebaliknya, di lingkungan bebas oksigen, takkan ada pula lapisan ozon;
sehingga asam-asam amino akan segera rusak karena terkena sinar ultraviolet
yang paling kuat tanpa perlindungan dari lapisan ozon. Dengan kata lain, dengan
atau tanpa oksigen di bumi purba, hasilnya adalah lingkungan mematikan yang
bersifat merusak bagi asam amino.
Anehnya,
mengapa percobaan Miller masih saja dimuat di buku-buku pelajaran dan dianggap
sebagai bukti penting asal usul kehidupan secara kimiawi? Ini sekali lagi
menunjukkan betapa evolusi bukanlah teori ilmiah, melainkan keyakinan buta yang
tetap dipertahankan meskipun bukti menunjukkan hal sebaliknya.
Kalangan masyarakat awam adalah yang umumnya tidak mengetahui kenyataan ini,
dan menganggap pernyataan evolusi manusia didukung oleh berbagai bukti kuat.
Anggapan yang salah tersebut terjadi karena masalah ini seringkali dibahas di
media masa dan disampaikan sebagai fakta yang telah terbukti. Tetapi mereka
yang benar-benar ahli di bidang ini mengetahui bahwa kisah "evolusi
manusia" tidak memiliki dasar ilmiah.