TRANSLATE ARTIKEL INI KE DALAM BAHASA LAIN DENGAN MENGKLIK PILIH BAHASA DIBAWAH

Showing posts with label TENTANG BIMA <MBOJO>. Show all posts
Showing posts with label TENTANG BIMA <MBOJO>. Show all posts

Sunday 26 September 2021

BIMA DALAM BEBERAPA ZAMAN

Mbojo yang lebih dikenal dengan Bima sekarang, memiliki sejarah yang sangat panjang dan penuh dengan misteri. Secara urutan Bima dapat terbagi dalam beberapa zaman atau masa.


1. Zaman Naka

Diantara beberapa ilmuan juga sejarawan lokal Mbojo tidak mengetahui secara detail kapan zaman naka ini berlangsung, hal ini masuk akal karena zaman naka sendiri merupakan zaman dimana masyarakat masih hidup berpindah-pindah, belum bercocok tanam, belum mengenal tulisan dan belum ada peradaban. Zaman ini lebih kita kenal dengan zaman Prasejarah.


2. Zaman Ncuhi

Zaman Ncuhi merupakan kelanjutan dari zaman naka dengan benyak perkembangan yaitu telah mengenal peradaban, bercocok tanam, tidak berpindah-pindah juga telah terbentuknya pemerintahan, akan tetapi pemerintahn pada zaman zcuhi tidaklah seperti pemerintahn sekarang..
Zaman Ncuhi merupakan awal masyarakat Mbojo meniti sejarah yang indah, hal ini terbukti dalam kebijaksanaan para pemimpin kelompok masyarakat yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan dan mendahulukan permusyawaratan. Tinta emas yang digoreskan oleh para ncuhi ini, menjadikan Suku Mbojo sebagai manusia yang dihargai oleh dunia karena kabaikan dan ketaatannya kepada agama ketika zaman keislaman/kesultanan.
Pada zaman ncuhi juga pemerintahan pertama Bima terbentuk yaitu ketika Sang Bima (salah satu putra dari Raja Jawa Timur) mengembara ke Dana Mbojo dan memprolamirkan Mbojo sebagai Bima (dari nama baliaulah Bima itu diambil). Pada zaman ncuhi, masyarakat suku mbojo terbangun atas kepercayaan budaya (Agama budaya) yaitu Makamba dan Makimbi/animise dan dinamisme. Keparcayaan ini terbangun secara alami dalam kehidupan masyarakatyang belum mengenal agama samawi. Begitu juga pemerintahan dibangun atas kepercayaan budaya atau adat masyarakat.


3. Zaman Kerajaan

Zaman kerajaan ini merupakan kelanjutan dari zaman Ncuhi yang sedikit lebih maju dari pemerintahan ncuhi itu sendiri yang bernaung dibawah kepemimpinan seorang Raja. Raja pertama Mbojo itu sendiri adalah seorang keluarga Raja Jawa Timur yaitu Sang Bima yang konon telah ada hubungan sebelumnya antara Raja Jawa dengan pemimpin-pemimpin masyarakat Mbojo sebelumnya.
Pada zaman Sang Bima ini, sedikit tidaknya pengaruh Hindu menyentuh masyarakat Mbojo, hal ini terbukti dengan adanya peninggalan-peninggalan Hindu kuno seperti Wadu Pa’a dll.. namun kepercayaan hindu tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan agama atau kepercayaan masyarakat mbojo. Hal ini dikarenakan tidak klopnya antara kepercayaan yang dibawa oleh Sang Bima dengan Hindunya dengan masyarakat Mbojo dengan kepercayaan Makamba dan Makimbi-nya.


4. Zaman Kesultanan

Zaman kesultanan merupakan era baru dalam pemerintahan masyarakat Bima. Zaman kesultanan merupakan revolusi masyarakat Bima dalam segala segi kehidupannya. Revolusi yang dimaksud adalah perubahan pola kehidupan masyarakat Bima itu sendiri baik dari segi pemerintahan (dari pemerintahan Hindu ke Islam), budaya, hukum yang dipakai dalam masyarakat dan pemerintahan dan tata kehidupan masyarakat. Sebab disebut zaman kesultanan karena Islam telah masuk dan menjadi agama Negara bagi masyarakat Mbojo/Bima.

Islam itu sendiri masuk ke Dana Mbojo dengan beberapa jalur, diantaranya jalur perdagangan, politik dan lewat beberapa daerah diantaranya lewat Demak, Ternate, dan Makassar. (lebih lengkapnya baca di sejarah masuknya Islam di Dana Mbojo oleh Hanafi). 

Zaman kesultanan diproklamirkan pada tanggal 5 Juli 1640 M. oleh Sultan Bima I yaitu Sultan Abdul Kahir (La Ka’I) yang kemudian menjadi hari jadinya Bima yang dirayakan setiap tahunnya.

 

source: blogmbojobanget.blogspot.com

Adat Istiadat Secara umum di Bima

Adat istiadat Secara umum di Daerah Bima hampir sama semua. Secara umum seperti :

1.  Ketika adzan Jumat di kumandangkan, Mesjid-mesjid di bima yang hampir semua berada di pinggir jalan besar dan memiliki Portal menutup portal-portalnya menutupi jalan. Agar semua kendaraan yang melintas bisa berhenti dan bersiap untuk melakukan sholat jumat dahulu.

2.  Dalam keluarga, bila mempunyai anak lelaki biasa di panggil One atau Mone yang berarti Laki-laki dan Siwe atau Iwe untuk perempuan yang berarti wanita sebagai nama kecilnya walaupun mereka sudah memiliki nama aslinya.

3.  Budaya Rimpu yaitu cara berpakaian wanita untuk menutupi aurat (pengganti Jilbab) dengan cara sarung di lilitkan di kepala hingga menutupi setengah badan. Apabila para wanita ingin keluar rumah, mereka biasa menggunakan Rimpu.

4.  Sebelum bulan Ramadhan tiba, sebagian masyarakat Bima biasa menghabiskan waktunya untuk bertamasya dan makan-makan. Sebagian juga melakukan Jiarah Kubur di Pemakaman untuk menjiarahi sanak saudaranya yang telah meninggal.

5.  Dalam keluarga, bila seorang anak telah lahir dan pada saat pemotongan rambut bayi, sang bayi dibuatkan rumah-rumahan dari pohon Tebu dan diletakkan di dalamnya, agar di waktu kelak sang bayi bisa hidup yang lebih baik dan sejahtera.

6.  Rumah adat Bima adalah Rumah Panggung yang biasanya di depan rumah sebelah kanan di letakkan Jompa atau Uma Lengge (Lumbung Padi) sebagai pertanda kekayaan pemilik.

Adapun kesenian yang diadakan pada waktu Khitanan atau perkawinan adalah kesenian Gantao. Gantao adalah kesenian tradisional yang diiringi dengan alat musik tradisional dan diiringi oleh dua atau empat orang yang melakukan aksi silat.

 Source: mapalahasa.multiply.com

Wednesday 20 March 2013

Siapa yang tidak mengenal Bima? ,


Siapa yang tidak mengenal Bima? Persona yang satu ini sangat terkenal dalam dunia pewayangan sebagai salah satu keluarga Pandawa. Sifanya kasar dan keras, namun teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Namun, adakah yang mengenal daerah Bima yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa?

Mari saya perkenalkan tentang daerah saya yang bernama Bima yang sampai saat ini masih dipertanyakan, kata “Bima” sendiri berasal dari mana? Karena nama asli daerah saya adalah “Mbojo”, yang berasal dari kata “babuju” atau tidak rata, sebagai gambaran daerah Bima yang dipenuhi gunung dan bukit. Bila merunut legenda dan dipercayai hingga kini, “Bima” berasal dari nama raja pertama, Sang Bima. Ada juga yang mengatakan bahwa Bima berasal kata dari “bismillaahirrohmaanirrohiim”, merunut budaya Bima yang sejak manjadi Kesultanan Bima sungguh sangat Islami.

Bima adalah salah satu suku yang berada dibagian timur provinsi NTB. Daerah kecil ini memilki sumber budaya alam yang cukup beraneka ragam, mulai dari penghasilan padi, bawang merah, kacang tanah, jagung, kedelai serta sayur-mayur lainnya dan yang tak kalah penting adalah penghasilan bawang merah yang selalu menjadi komoditi bisnis terbesar di tanah bima tersebut. Corak kebudayaan bercocok tanam inipun sudah di mulai oleh masyarakat bima sejak dulu.

Berbicara tentang semboyan hidup, tanah Bima pastilah memilkinya. Semboyan hidup tersebut pun menjadi ciri khas masyarakat setempat ketika melakukan interaksi dan komunikasi antar sesama serta menjadi ciri khas kedaerahan bagi mereka.

Dou Mbojo (Orang Bima)
Salah satu keunikan yang mungkin tidak ada di Indonesia, Bima sendiri merupakan bahasa Indonesia dari Mbojo (ini secara sederhana saja). Bila kita menggunakan bahasa Indonesia, kalimat “orang Bima” adalah yang paling tepat, bukan “orang Mbojo”. Begitu pun sebaliknya, bukan “dou Bima”, melainkan “dou Mbojo”. Intinya, saat kita menggunakan bahasa Indonesia, untuk merujuk “Bima”, kita harus tetap menggunakan kata “Bima”. Namun bila kita menggunakan bahasa daerah Bima, untuk merujuk”Bima”, kata yang tepat adalah “Mbojo”.

Maja Labo Dahu (Malu dan Takut)
Bima memiliki semboyan yang dikenal dengan sebutan Maja Labo Dahu. Setiap aturan yang berdasarkan budaya ataupun hasil karya manusia adalah tidak akan pernah lepas dari aturan tuhan, mulai dari undang-undang Negara sampai pada tataran kebudayaan seperti yang dimilki oleh Bima itu sendiri. Kata Maja berarti Takut, Labo berarti dan serta Dahu berarti Takut. Jika kita meninjau kata di atas secara semantik atau maknawi, Maja (malu) bermaknakan bahwa orang ataupun masyarakat Bima akan malu ketika melakukan sesuatu diluar daripada koridor tuhan, apakah itu kejahatan, perbuatan dosa dan lain sebagainya baik yang berhubungan dengan manusia ataupun terhadap tuhannya. Dahu (takut), hampir memilki proses interpretasi yang sama dengan kata Malu tersebut. Sama-sama takut ketika melakukan sesuatu kejahatan ataupun keburukan. Sebagai tambahan bahwa, orang Bima akan malu dan takut pulang ke kampung halaman mereka ketika mereka belum berhasil di tanah rantauan. 

            Kalau kita telusuri berdasarkan sejarahnya, falsafah hidup ini sudah di dengungkan sejak Zaman kerajaan dulu. Sehingga pada masyarakat Bima, sudah mengenakan jilbab bagi kaum wanita dan mereka sangat menjaga harga diri mereka bahkan mereka sangat takut memperlihatkan bagian tubuh ataupun wajah mereka terhadap laki-laki. 

Dulu, jilbab adalah sarung yang digunakan untuk menutup aurat mereka. Itu dikenakan dikarenakan mereka memahami betul-betul arti ataupun simbolisasi dari budaya Maja labo Dahu tersebut. Kita mengenalnya sebagai “Budaya Rimpu” atau proses penutupan aurat pada wanita. Oleh karenanya, pada zamannya budaya rimpu merupakan implementasi real dari budaya Maja labo Dahu tersebut.

Berbagai Sumber
Penyusun: M. AL. FURQAN

ANDA PENGUNJUNG KE :

CARI ARTIKEL LAIN DI BLOG INI DENGAN MEMASUKKAN KATA PADA KOLOM SEARCH DIBAWAH