TRANSLATE ARTIKEL INI KE DALAM BAHASA LAIN DENGAN MENGKLIK PILIH BAHASA DIBAWAH

Thursday 30 March 2023

Sang Gula - Abu Hamzah Muhammad Bin Maimun As-Sukkari

 

Abu Hamzah Muhammad Bin Maimun As-Sukkari rahimahullah adalah seorang ulama kaum muslimin. Beliau bernama Imam Muhammad bin Maimun Abu Hamzah, Sang Gula.

 

Mengapa beliau dijuluki dengan “sang gula”??

 

Mari kita simak keterangan Imam Adz Dzahabi:

Beliau dijuluki dengan As-Sukkary (nisbah kepada sukkar yang artinya gula) bukan karena beliau penjual gula akan tetapi karena manisya tutur kata beliau.

(Siyar A’laamin Nubalaa’ 7/386)

 

Benar memang, saat telinga ini disapa dengan rangkaian kata yang penuh dengan kesantunan dan kelembutan, maka akan terasa manis di dalam jiwa, rasa yang lebih manis dari gula dan madu.
Bukankah sesendok gula yang disajikan dengan umpatan dan cacian akan terasa pahit di dalam hati?

 

“Kata-kata yang baik adalah sebuah sedekah.”

Sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam Shahih Bukhari dan Muslim.

 

Dikisahkan seorang tetangga Abu Hamzah As Sukkary, dikarenakan hajat yang mendesak, ingin menjual rumahnya. Sampai ada orang yang tertarik. Yang tertarik bertanya, berapa harga rumahnya? Harganya 4000 dirham.

Lalu dikatakan kepadannya, "Rumahmu itu tidak segitu harganya!.

2000 dirham untuk harga rumah dan 2.000 lagi untuk harga bertetangga dengan Abu Hamzah As-Sukkari." Jawabnya.

 

"Anda harus bayar ketika saya harus pindah dan menjauh dari Abu Hamzah. Susah punya tetangga yang tutur katanya manis, baik, rajin ibadah, berilmu, bisa nanya, berinteraksinya dengan sunnah Nabi Muhammad SAW,"

Sampailah berita tersebut kepada Abu Hamzah As-Sukkary. Lalu beliaupun memberikan kepada tetangganya tersebu 4.000 dirham dan mengatakan, "Tinggallah disini dan janganlah engkau jual rumahmu!

 

"Abu Hamzah itu diriwayatkan kalau ada tetangga yang sakit itu beliau bantu pengobatannya. Kalau kita kan di level kirim buah ya, kita sering kali jangankan bantu, jenguk saja lupa kita,"

 

Betapa luar biasanya memiliki tetangga yang shalih…

 

(Terinspirasi oleh Faidah Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz As Sindi)

Muhammad Nuzul Dzikri,  حفظه الله تعالى

 

 

 

 

Wednesday 29 March 2023

Seputar Tentang Puasa Ramadhan dan Tuntunan Ibadah Puasa Ramadhan


Puasa adalah ibadah yang dilaksanakan dengan jalan meninggalkan segala yang menyebabkan batalnya puasa sejak terbit fajar hingga tebenam matahari. Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang agung. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, artinya: "Islam itu didirikan di atas lima sendi: Bersaksi tiasa sesem-bahan yang hak melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah." (Muttafaq 'alaih)

 

Golongan Manusia dalam berpuasa

 

Puasa diwajibkan kepada setiap muslim, baligh, mampu dan bukan dalam keadaan musafir (bepergian).

 

Orang kafir tidak diwajibkan ber-puasa dan jika ia masuk Islam tidak diwajibkan mengqadha' (mengganti) puasa yang ditinggalkannya selama ia belum masuk Islam.

 

Anak kecil dibawah usia baligh tidak diwajibkan berpuasa, tetapi dianjurkan untuk dibiasakan berpuasa.

 

Orang gila tidak wajib berpuasa dan tidak dituntut untuk mengganti puasa dengan memberi makan, walaupun sudah baligh. Begitu pula orang yang kurang akalnya dan orang pikun.

 

Orang yang sudah tidak mampu untuk berpuasa disebabkan penyakit usia lanjut, sebagai pengganti puasa ia harus memberi makan untuk setiap hari satu orang miskin (membayar fidyah).

 

Bagi seseorang yang sakit dan penyakitnya masih ada kemungkinan untuk dapat disembuhkan, jika ia merasa berat untuk menjalankan puasa maka dibolehkan baginya tidak berpuasa tetapi harus mengqadha'- nya setelah sembuh.

 

Wanita yang sedang hamil atau sedang menyusui jika dengan puasa ia merasa khawatir terhadap kesehatan dirinya dan kesehatan anaknya, maka dibolehkan tidak berpuasa dan kemu-dian mengqadha' nya di hari yang lain.

 

Wanita yang sedang dalam keadaan haidh atau dalam keadaan nifas, tidak boleh berpuasa dan harus mengqadha 'nya pada hari yang lain.

 

Orang yang terpaksa berbuka puasa karena hendak menyelamatkan orang yang hampir tenggelam atau terbakar, maka ia hendaknya mengqadha' puasa yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.

 

Bagi musafir boleh memilih antara berpuasa dan tidak berpuasa. Jika memilih tidak berpuasa maka ia harus mengqadha' nya di hari yang lain. Hal ini berlaku bagi musafir sementara , seperti berpergian untuk melaksanakan umrah, atau musafir tetap , seperti sopir truk dan bus (luar kota), maka bagi mereka boleh tidak berpuasa selama mereka tinggal di daerah (negeri) orang lain dan harus mengqadha'nya.

 

Beberapa Rukhsah Yang Tidak Membatalkan Puasa

 

Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang membatalkan puasa di sebabkan lupa atau tidak mengerti ataupun tidak sengaja, maka puasa-nya tidak batal. Berdasarkan ayat, yang artinya: "Ya Tuhan kami, jangan-lah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah." (Al-Baqarah: 286), "Dan tiada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya tetapi (yang ada dosanya) adalah yang disengaja di hatimu." (Al-Ahzab: 5)

 

Jika orang yang sedang berpuasa makan dan mimun karena ia yakin bahwa matahari telah terbenam, maka puasanya tidak batal; dan tidak batal pula puasa orang yang makan dan minum karena yakin bahwa fajar belum terbit (padahal yang sebenar-nya waktu sahur telah habis, red).

 

Jika orang yang sedang berpuasa berkumur, lalu masuk sebagian air ke dalam tenggorokannya tanpa sengaja, maka puasanya tidak batal. Dan tidak batal puasa seseorang yang ketika tidur bermimpi (hingga keluar mani), karena tidak ada nash yang menyatakan hal tersebut batal.

 

Hal-hal yang Membatalkan Puasa

 

Melakukan jima' (hubungan intim suami istri) pada siang hari Ramadhan bagi yang sedang berpuasa, maka wajib mengqadha' puasanya dan membayar kafarah mughallazhah (denda berat) yaitu dengan memer-dekakan seorang hamba sahaya. Jika tidak mendapatkan hamba sahaya maka wajib baginya berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu, maka ia berkewajiban memberi makan enam puluh orang miskin.

 

Mengeluarkan air mani dengan cara onani atau masturbasi, mencium, memeluk, merangkul dan lain-lainnya.

 

Makan minum atau menghisap sesuatu, baik yang bermanfaat atau yang berbahaya seperti rokok.

 

Menyuntikan obat yang dapat mengenyangkan dan dapat menahan rasa lapar, karena melakukan itu berarti sama dengan minum. Sedang menyuntikkan obat yang tidak me-ngenyangkan, maka hal tesebut tidak membatalkan puasa, walaupun disuntikkan pada otot atau urat nadi, baik terasa di kerongkongan atau tidak.

 

Keluar darah haidh dan nifas

Mengeluarkan darah dengan jalan hijamah (membekam) atau yang serupa. Sedang keluar darah dengan sendirinya atau karena mencabut gigi dan yang semisalnya, tidak membatalkan puasa, karena hal tersebut tidak termasuk dalam pengertian hijamah.

 

Muntah disengaja, tetapi jika muntah tanpa disengaja atau dibuat-buat, maka tidak batal puasanya.

 

Transfusi darah sebagai pengganti darah yang keluar, seperti seseorang yang sedang berpuasa terluka (kecelakaan dan sejenisnya) yang mengakibatkan keluarnya darah.

 

Memanfaatkan Moment Ramadhan

 

Pertama-tama yang perlu diingat bahwa kita berpuasa bukan sekedar mengikuti adat dan kebiasaan yang berlaku. Karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menyebutkan bahwa untuk memperoleh ampunan Allah atas dosa-dosanya yang telah lalu melalui puasa, syaratnya ada dua iman dan ihtisab . Iman dalam arti percaya kepada Allah dan apa-apa yang disediakan olehNya berupa pahala bagi orang-orang yang berpuasa. Dan ihtisab yang berarti semata-mata karena Allah dan mengharap pahalaNya, bukan karena riya, sum'ah, pamer dan ingin dipuji, bukan pula kerena harta dan kedudukan.

Kemudian jangan sampai kita keluar dari bulan puasa dengan tangan kosong. Malamnya hanya diisi dengan canda tawa, bermain dan begadang, sementara siang harinya tidur pulas karena kelelahan dan kantuk yang berat.

 

Hari-hari Ramadhan penuh pahala tak terbilang, malamnya malam yang disaksikan. Tatkala datang hilal (Ramadhan), hendaknya kita dalam keadaan siap untuk sungguh-sungguh dalam menyambutnya, serta kita isi bulan itu dengan ketaatan dan ibadah, agar kelak mendapatkan kemenangan dan kenikmatan. Jangan sampai ketika Ramadhan datang, kita dalam keadaan lengah tanpa persiapan apa-apa. Nabi n telah memperingatkan kita dengan sabdanya, artinya: "Sungguh celaka orang yang sempat mendapati Ramadhan, kemudian taatkala ia berlalu Allah masih juga belum mengampuninya." (HR. At-Tirmidzi dan Hakim)

 

Di samping memperbanyak ibadah, bulan Ramadhan merupakan ajang yang sangat pas untuk berhenti dari berbagai perbuatan negatif, (yang mungkin dianggap sepele), padahal efeknya tidak tidak bisa dianggap remeh, seperti ;

 

Merokok, jika pada siang harinya kita bisa menahan dari makan, minum dan juga merokok, maka seharus pada malamnya harus bisa manahan dari menghisapnya.

 

Mendengarkan musik dan lagu-lagu, ini dapat merusak hati, apalagi lagu-lagu tentang nafsu dan syahwat, ia akan mengurangi rasa malu dan cemburu.

 

Menonton film atau sinetron, dan acara-acara lain yang tidak bermanfaat.

 

Terlalu banyak bergurau dan tertawa, karena dapat membuat hati menjadi keras, serta bisa memalingkan dari dzikrullah.

 

Bergaul dengan orang yang buruk perangai, jika kita ikut-ikutan mereka ma-ka tak ada bedanya kita dengan mereka.

 

Pergi ke pasar/supermaket, mall dan sejenisnya. Jangan sampai terlalu sering pergi kesana, terkecuali jika ada keperluan untuk belanja. Pasar termasuk tempat buruk di muka bumi yang disana sering terjadi banyak fitnah.

 

Berduaan antara pria dan wanita yang bukan mahram, kerena ia mamancing tindakan keji yang dapat menda-tangkan murka Allah. Juga sebisa mungkin hindari ikhtilat yaitu campur baurnya laki-laki dan perempuan dengan bebas.

 

Kemungkaran seputar lisan, seperti ghibah (menggunjing), dusta, fitnah, adu domba dan sebagainya. Semua itu dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan pahala puasa.

 

Mari kita merenungkan bagaimana kaum salaf para pendahulu kita menjaga waktunya, padahal mereka adalah ma-nusia pilihan yang sangat di kenal keshalehannya. Barangkali saja dapat mengetuk pintu hati kita untuk memperbaiki ketaatan kita kepada Allah:

 

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam orang yang paling mulia di muka bumi tidak pernah meninggalkan shalat malam hingga kaki beliau bengkak.

 

Abu Bakar Radhiallaahu 'anhu, sosok yang banyak menangis terutama dikala shalat dan membaca Al Qur'an.

 

Umar bin Khaththab Radhiallaahu 'anhu dipipinya ada bekas garis kehitaman karena sering menangis.

 

Utsman bin Affan Radhiallaahu 'anhu pernah meng-khatamkan Al Qur'an dalam satu raka'at.

 

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu 'anhu menangis di mihrabnya, hingga air mata membasahi jenggotnya seraya mengatakan: "Wahai dunia pergilah engkau! Sungguh engkau telah aku talak tiga dan tidak ada rujuk lagi."

 

Imam Qatadah selalu mengkhatamkan Al-Qur'an tiap pekan, ketika Ramadhan beliau khatam tiap 3 hari, dan di sepuluh terakhir tiap hari.

 

Imam Sufyan Ats-Tsauri pernah menangis keluar darah karena takut kepada Allah.

Said bin Musayib yang tidak pernah ketinggalan shalat berjama'ah selama empat puluh tahun.

 

(Dept. Ilmiah)

 

Tuesday 28 March 2023

QADLA, KAFFARAT DAN MEMBERI MAKANAN (Tanya Jawab Seputar Ramadhan)

 

Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


 

Qadla Bagi Yang Tak Berpuasa Beberapa Tahun Ramadhan

 

Tanya :

Bagaimana seorang muslim yang tak menjalankan ibadah puasa beberapa bulan Ramadlan dari beberapa tahun padahal dirinya telah wajib, maka mestikah ia qadla jika taubat ..?

 

Jawab :

Yang benar, qadla tak wajib baginya bila ia telah bertaubat, sebab setiap ibadah yang sudah tentu waktunya bila sengaja ditangguhkan tanpa alasan yang dibenarkan syara', maka mengqadlanya tak akan diterima Allah. Oleh sebab itu, hendaklah ia bertaubat kepada-Nya dengan cara memperbanyak amal sholeh. Barang siapa bertaubat, niscaya Allah menerimanya.

 

 

Qadla Bagi Yang Tak Berpuasa Beberapa Hari Karena Tidak Tahu

 

Tanya :

Wajibkah qadla bagi yang tidak berpuasa beberapa hari Ramadlan tanpa alasan yang dibenarkan karena ia buta atas wajibnya berpuasa .? Juga bagaimana hukum berpuasa bukan karena ibadah, tetapi karena ikut-ikut orang berpuasa .?

 

Jawab :

Memang ia wajib qadla atas puasa yang ditinggalkannya, sebab ketidaktahuan-nya tidak bisa menggugurkan wajibnya berpuasa, yang gugur hanya dosanya. Ia tak berdosa karena tak berpuasa, tetapi tetap wajib qadla.

 

Mengenai pertanyaan kedua tentang orang berpuasa karena ikut-ikutan kepada mereka yang berpuasa, maka puasanyat tetap sah, sebab ia memegang niatnya, yakni berbuat seperti apa yang dilakukan kaum muslimin. Kaum muslimin berbuat seperti itu dalam rangka ibadah. Tetapi perlu dijelaskan kepadanya, bahwa puasa itu ibadah. Orang tidak makan, tidak minum dan meninggalkan syahwatnya mesti semata-mata untuk Allah, sebagaimana dikatakan dalam hadits qudsi bahwa yang berpuasa itu telah meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku.

 

 

Wajibkah Qadla Bagi Yang Tak Pernah Berpuasa Padahal Telah Berusia 27 Tahun

 

Tanya :

Saya seorang pemuda berusia 27 tahun yang telah jauh tersesat. Sekarang telah benar-benar bertaubat kepada Allah, namun pada saat ini belum sempat berpuasa, apakah saya wajib mengqadlanya ..?

 

Jawab :

Seorang lelaki yang mengaku dirinya tersesat dan lalu diberi hidayah oleh Allah, maka kami mohon kepada-Nya, semoga ia diberi keteguhan agar selalu mampu menghadapi hawa nafsu dan syaitan. Hal itu merupakan ni'mat Allah. Tidak ada yang memahami kesesatan selain yang mengalaminya setelah ia mendapatkan hidayah.

 

Orang tak akan tahu batas keislaman kecuali bila mengetahui batas kekafiran. Kami sampaikan kepada lelaki seperti itu : "Semoga ananda mendapatkan anugrah Allah agar tetap dalam pendirian (istiqamah). Juga kita memohon kepada-Nya agar kita diberi keteguhan dalam menjalankan kebenaran dan ketaatan yang pernah kita tinggalkan ; puasa, shalat, zakat atau lainnya, namun tak perlu diqadla, sebab sudah tertambal taubat. Jika ananda telah bertaubat kepada Allah lalu beramal sholeh, maka cukuplah hal itu sebagai pengganti yang hilang. Hal ini merupakan hal yang perlu diketahui yakni kaidah : "Ibadah yang terikat oleh waktu dilakukan di luar waktunya, maka ibadah tersebut tidak sah, seperti shalat dan puasa".

 

Jika seseorang sengaja tak akan shalat hingga habis waktunya, lalu ia datang bertanya apakah ia wajib mengqadlanya, tentu kami akan jawab tidak bisa di qadla. Hal ini berlaku pula dalam puasa. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barang siapa yang beramal tanpa ada perintah kami, maka tertolaklah amalnya".

 

Jika kamu menangguhkan ibadah yang sudah tentu waktunya, lalu setelah habis waktunya baru dilaksanakan, berarti kamu telah berbuat sesuatu yang tidak dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, batal dan tak bermanfaat. Lain halnya dengan yang lupa, maka ia berhak mengqadlanya, berdasarkan hadits :

"Artinya : Barang siapa tidur hingga tak shalat atau lupa shalat, hendaklah shalat ketika sadar".

Dengan demikian menurut kami, orang yang beralasan meninggalkan shalat ia berhak atas waktunya bila alasannya telah tiada. Karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Hendaklah shalat ketika sadar kembali". Sedangkan orang yang meninggalkan ibadah dengan sengaja hingga waktunya habis, lalu dilaksanakan bukan pada waktunya, maka tidak akan diterima.

 

 

Menangguhkan Qadla Hingga Tiba Ramadlan Berikutnya

 

Tanya :

Bagaimana hukum menangguhkan qadla hingga tiba Ramadlan berikutnya ..?

 

Jawab :

Menurut para ulama, menangguhkan qadla Ramadlan hingga datang Ramadlan berikutnya tidak boleh. Aisyah berkata : "Aku punya kewajiban puasa Ramadlan hanya mampu dibayar pada bulan Sya'ban".  Hal ini menunjukkan bahwa setelah Ramadlan kedua tak ada keringanan lagi. Jika orang berbuat seperti itu, berdosalah ia dan wajib segera membayarnya setelah Ramadlan kedua. Tetapi dalam mengqadlanya ulama berselisih, apakah disamping itu ia wajib mengeluarkan makanan atau tidak .? Maka menurut pendapat yang mashur ia tak wajib mengeluarkannya berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah : 185

 

 

Qadla Bagi Yang Menangguhkannya Hingga Masuk Ramadlan Kedua

 

Tanya :

Seorang wanita tak berpuasa beberapa hari pada Ramadlan lalu dibayarkan pada akhir-akhir Sya'ban. Tinggal satu hari lagi yang mesti diqadlanya, ia kedatangan bulannya (haid) hingga memasuki Ramadlan kedua, maka apa yang mesti dilakukannya ..?

 

Jawab :

Jika wanita tersebut mengaku dirinya sakit hingga tak mampu qadla atas puasanya, hendaklah ia membayarnya ketika sudah mampu karena beralasan walau telah tiba Ramadlan kedua. Jika tak beralasan, berarti telah menghinakan hukum Allah. Ia tak boleh menangguhkan qadla hingga tiba Ramadlan berikutnya. Aisyah berkata : "Aku punya kewajiban yang baru sempat dibayar pada bulan Sya'ban".

 

Oleh karena itu, bagi yang menangguhkan qadla tanpa alasan yang dibenarkan, hendaklah menyadari bahwa dirinya berdosa dan wajib bertaubat dengan segera membayar puasa yang menjadi kewajibannya.

 

 

Puasa Enam Hari Syawal Padahal Punya Qadla Ramadlan.

 

Tanya :

Bagaimanakah kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal padahal punya qadla Ramadlan .?

 

Jawab :

Dasar puasa enam hari Syawal adalah hadits berikut :

"Artinya : Barang siapa berpuasa Ramadlan lau mengikutinya dengan enam hari Syawwal, maka ia laksanakan puasa satu tahun".

Jika seseorang punya kewajiban qadla lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari, maka puasa Syawwalnya tak berpahala, kecuali jika telah mengqadla Ramadlannya.

 

 

Bersetubuh Di Siang Hari Ramadhan

 

Tanya :

Bagaimana hukum orang yang bersetubuh di siang hari Ramadhan ..?

 

Jawab :

Jika ia termasuk orang yang boleh berbuka, seperti tengah menempuh suatu perjalanan, maka tidak mengapa bersetubuh. Dan jika keduanya tidak termasuk yang boleh berbuka, maka bersetubuh haram, berdosa serta wajib qadla. Di samping wajib qadla, iapun wajib memerdekakan hamba sahaya ; jika tak mampu, wajib berpuasa dua bulan berturut-turut ; jika tak mampu, wajib memberi makan kepada enam puluh orang miskin. Kewajiban ini berlaku pula kepada istrinya, kecuali jika dipaksa melakukannya.

 

 

Kaffarat Orang Yang Menyetubuhi Istrinya

 

Tanya :

Seorang yang berpuasa telah menyetubuhi istrinya, bolehkah ia memberi makan enam puluh orang miskin sebagai kaffaratnya .?

 

Jawab :

Barangsiapa yang menyetubuhi istrinya di siang hari Ramadhan padahal ia sendiri wajib berpuasa, maka ia wajib berkaffarat berupa memerdekakan hamba sahaya ; jika tak mampu, wajib berpuasa dua bulan berturut-turut ; jika tak mampu, wajib memberi makan enam puluh orang miskin.

 

Penanya mengatakan : "Bolehkah dirinya berkaffarat dengan cara memberi makan enam puluh orang miskin ?" Kami jawab : "Jika masih kuat berpuasa, maka ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut". Puasa dua bulan akan ringan bila seseorang bertekad ingin melakukannya kecuali jika malas. Segala Puji bagi Allah yang telah menjadikan bagi kita beberapa hal yang jika dilakukan akan dapat menghapus siksa akhirat. Karena itu, kepada saudara penanya, kami sarankan hendaklah saudara berpuasa berturut-turut jika tak ada hamba sahaya untuk di merdekakan. Puasa kaffarat tersebut boleh dilakukan pada musim hujan biar udara dingin dan sejuk. Kewajiban kaffarat tersebut berlaku pula bagi istrinya, jika bersetubuh atas kehendaknya sendiri, kecuali jika dipaksa. Bagi yang dipaksa tak wajib kaffarat dan qadla serta puasanya tetap sempurna.

 

 

Bolehkah Memberi Makan Kepada Selain Kaum Muslimin .?

 

Tanya :

Bolehkah memberi makan kepada selain muslimin dan berpakah macam orang sakit dalam berpuasa .?

 

Jawab :

Pertama, kami kemukakan bahwa sakit itu ada dua macam ; [a] sakit yang bisa diharapkan sembuh, maka hukumnya diterangkan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 185. Orang yang sakit seperti ini hendaknya menunggu sembuh setelah itu baru berpuasa. Jika diperkirakan bahwa sakitnya akan berkepanjangan dan ternyata ia meninggal dunia sebelum sempat membayar puasanya, maka ia tak wajib mengqadlanya, sebab terburu mati, tak jauh berbeda dengan yang meninggal dunia pada bulan Sya'ban. [b] sakit yang tak kunjung sembuh, seperti kanker atau rematik, mag, pusing atau yang lainnya. Orang yang berpenyakit seperti ini boleh selamanya tak berpuasa dan digantikan kewajibannya dengan memberi makan seorang miskin pada setiap harinya. Yang berpenyakit seperti ini sama kedudukannya dengan orang yang sudah tua renta yang tak sanggup lagi berpuasa. Allah berfirman :

"Artinya : Dan wajib bagi orang berat menjalankannya (jika mereka tida berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin". (Al-Baqarah : 184)

Itulah keringanan pertama bagi yang tak mampu berpuasa, namun akan lebih baik jika mereka tetap berpuasa menurut kelanjutan ayat di atas. Maka dalam hal ini ada pilihan antara berpuasa dan memberi fidyah. Kemudian puasa sendiri wajib pada ayat berikutnya (Al-Baqarah : 185). Dengan demikian Allah menjadikan pemberian makanan sebagai imbangan puasa. Jika seseorang tak mampu berpuasa, baik pada bulan Ramadlan atau sesudahnya, maka kita kembalikan kepada imbangannya yaitu memberi fidyah. Karena itu, fidyah wajib bagi yang sakit tak kunjung sembuh atau kepada yang sudah tua renta yang tak sanggup berpuasa, baik dengan cara langsung diberikan kepada fakir miskin atau mereka yang diundang untuk makan sesuai dengan jumlah hari-hari puasa, seperti yang pernah dilakukan oleh Anas sewaktu tua.

 

Kedua, jika orang yang hendak fidyah masih menemukan orang Islam yang miskin di negerinya, maka berika fidyah tersebut kepada mereka. Jika tidak ada orang Islamnya, maka fidyah hendaknya disalurkan kepada negara Islam yang membutuhkannya.

 

 

Wajib Puasa Tanpa Fidyah

 

Tanya :

Saya nikah dengan seorang wanita yang punya hutang puasa Ramadlan sepuluh hari, apakah saya keluarkan fidyah untuknya karena diketahui ia bukan menjadi tanggunganku atau wajib bagi orang tuanya. Ia sendiri sekarang hamil delapan bulan, wajibkah ia berpuasa .?

 

Jawab :

Bismillahirahmanirrahim. Jika wanita tersebut melahirkan dan habis masa nifasnya, ia wajib berpuasa tanpa fidyah.

 

 

Fidyah Orang Sakit

 

Tanya :

Apakah yang sakit tak kunjung sembuh wajib berpuasa atau fidyah. Jika wajib fidyah, apakah boleh dikeluarkan lebih dulu dan bolehkah diberikan kepada satu orang atau beberapa orang. Jika ia sembuh, wajibkah ia qadla atau tidak .?

[Mahmud Zaky Hawary, Amman]

 

Jawab :

Jika sembuh dari penyakitnya, ia tak wajib berpuasa, sebab telah menunaikan kewajiban dan telah bebas.

 

 

Wajib Qadla Atau Memberi Fidyah Bagi Yang Tak Berpuasa Karena Sakit Terjatuh.

 

Tanya :

Saya terkena musibah sakit terjatuh hingga tak dapat berpuasa Ramadlan karena terus berobat tiga kali sehari. Pernah pula saya puasa dua hari namun tak mungkin meneruskannya. Akan tetapi, saya seorang pensiunan yang bergaji sekitar 83 dinar perbulan dengan seorang istri dan tak ada penghasilan lain, maka bagaimana hukumnya bila saya tak mungkin memberi makan kepad tiga puluh orang miskin selama bulan Ramadlan dan sebanyak apa yang mesti saya keluarkan .?

 

Jawab :

Jika penyakitnya bisa diharapkan sembuh pada suatu hari, maka tunggullah sampai hilang sakitnya lalu berpuasa sebagaimana firman Allah (Al-Baqarah : 185). Dan jika penyakitnya tak ada harapan sembuh, maka wajib mengeluarkan makanan kepada seorang miskin pada setiap harinya atau dibuatkan makanan lalu diundang seorang miskin untuk menikmatinya selama hari-hari puasa yang ditinggalakannya. Dengan demikian, tanggung jawab seseorang terpenuhi. Saya kira hal seperti ini akan mampu dilakukan oleh setiap orang. Jika tak mampu memberikannya selama satu bulan, maka boleh dicicil dalam beberapa bulan sesuai dengan kemampuan.

 

 


Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin, hal.227-230, terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof,Drs.KH.Masdar Helmy


 

ANDA PENGUNJUNG KE :

CARI ARTIKEL LAIN DI BLOG INI DENGAN MEMASUKKAN KATA PADA KOLOM SEARCH DIBAWAH