TRANSLATE ARTIKEL INI KE DALAM BAHASA LAIN DENGAN MENGKLIK PILIH BAHASA DIBAWAH

Saturday, 10 February 2024

10 (SEPULUH) KESALAHAN DALAM MENDIDIK ANAK


Oleh

Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

 

Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Maka, kita sebagai orang tua bertanggung jawab terhadap amanah ini. Tidak sedikit kesalahan dan kelalaian dalam mendidik anak telah menjadi fenomena yang nyata. Sungguh merupakan malapetaka besar ; dan termasuk menghianati amanah Allah.

 

Adapun rumah, adalah sekolah pertama bagi anak. Kumpulan dari beberapa rumah itu akan membentuk sebuah bangunan masyarakat. Bagi seorang anak, sebelum mendapatkan pendidikan di sekolah dan masyarakat, ia akan mendapatkan pendidikan di rumah dan keluarganya. Ia merupakan prototype kedua orang tuanya dalam berinteraksi sosial. Oleh karena itu, disinilah peran dan tanggung jawab orang tua, dituntut untuk tidak lalai dalam mendidik anak-anak.

 

BAHAYA LALAI DALAM MENDIDIK ANAK

Orang tua memiliki hak yang wajib dilaksanakan oleh anak-anaknya. Demikian pula anak, juga mempunyai hak yang wajib dipikul oleh kedua orang tuanya. Disamping Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada kedua orang tua. Allah juga memerintahkan kita untuk berbuat baik (ihsan) kepada anak-anak serta bersungguh-sungguh dalam mendidiknya. Demikian ini termasuk bagian dari menunaikan amanah Allah. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk perbuatan khianat terhadap amanah Allah. Banyak nash-nash syar’i yang mengisyaratkannya. Allah berfirman.

 

“Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” [An-Nisa : 58]

 

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhamamd) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27]

 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

 

“Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban terhadap yang dipimpin. Maka, seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

 

“Artinya : Barangsiapa diberi amanah oleh Allah untuk memimpin lalu ia mati (sedangkan pada) hari kematiannya dalam keadaan mengkhianati amanahnya itu, niscaya Allah mengharamkan sorga bagianya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

 

SEPULUH KESALAHAN DALAM MEDIDIK ANAK

Meskipun banyak orang tua yang mengetahui, bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab yang besar, tetapi masih banyak orang tua yang lalai dan menganggap remeh masalah ini. Sehingga mengabaikan masalah pendidikan anak ini, sedikitpun tidak menaruh perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya.

 

Baru kemudian, ketika anak-anak berbuat durhaka, melawan orang tua, atau menyimpang dari aturan agama dan tatanan sosial, banyak orang tua mulai kebakaran jenggot atau justru menyalahkan anaknya. Tragisnya, banyak yang tidak sadar, bahwa sebenarnya orang tuanyalah yang menjadi penyebab utama munculnya sikap durhaka itu.

 

Lalai atau salah dalam mendidik anak itu bermacam-macam bentuknya ; yang tanpa kita sadari memberi andil munculnya sikap durhaka kepada orang tua, maupun kenakalan remaja.

 

Berikut ini sepuluh bentuk kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

 

[1]. Menumbuhkan Rasa Takut Dan Minder Pada Anak

Kadang, ketika anak menangis, kita menakut-nakuti mereka agar berhenti menangis. Kita takuti mereka dengan gambaran hantu, jin, suara angin dan lain-lain. Dampaknya, anak akan tumbuh menjadi seorang penakut : Takut pada bayangannya sendiri, takut pada sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ditakuti. Misalnya takut ke kamar mandi sendiri, takut tidur sendiri karena seringnya mendengar cerita-cerita tentang hantu, jin dan lain-lain.

 

Dan yang paling parah tanpa disadari, kita telah menanamkan rasa takut kepada dirinya sendiri. Atau misalnya, kita khawatir ketika mereka jatuh dan ada darah di wajahnya, tangan atau lututnya. Padahal semestinya, kita bersikap tenang dan menampakkan senyuman menghadapi ketakutan anak tersebut. Bukannya justru menakut-nakutinya, menampar wajahnya, atau memarahinya serta membesar-besarkan masalah. Akibatnya, anak-anak semakin keras tangisnya, dan akan terbiasa menjadi takut apabila melihat darah atau merasa sakit.

 

[2]. Mendidiknya Menjadi Sombong, Panjang Lidah, Congkak Terhadap Orang Lain.Dan Itu Dianggap Sebagai Sikap Pemberani.

Kesalahan ini merupakan kebalikan point pertama. Yang benar ialah bersikap tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak dikurang-kurangi. Berani tidak harus dengan bersikap sombong atau congkak kepada orang lain. Tetapi, sikap berani yang selaras tempatnya dan rasa takut apabila memang sesuatu itu harus ditakuti. Misalnya : takut berbohong, karena ia tahu, jika Allah tidak suka kepada anak yang suka berbohong, atau rasa takut kepada binatang buas yang membahayakan. Kita didik anak kita untuk berani dan tidak takut dalam mengamalkan kebenaran.

 

[3]. Membiasakan Anak-Anak Hidup Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong.

Dengan kebiasaan ini, sang anak bisa tumbuh menjadi anak yang suka kemewahan, suka bersenang-senang. Hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak peduli terhadap keadaan orang lain. Mendidik anak seperti ini dapat merusak fitrah, membunuh sikap istiqomah dalam bersikap zuhud di dunia, membinasakah muru’ah (harga diri) dan kebenaran.

 

[4]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak

Sebagian orang tua ada yang selalu memberi setiap yang diinginkan anaknya, tanpa memikirkan baik dan buruknya bagi anak. Padahal, tidak setiap yang diinginkan anaknya itu bermanfaat atau sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Misalnya si anak minta tas baru yang sedang trend, padahal baru sebulan yang lalu orang tua membelikannya tas baru. Hal ini hanya akan menghambur-hamburkan uang. Kalau anak terbiasa terpenuhi segala permintaanya, maka mereka akan tumbuh menjadi anak yang tidak peduli pada nilai uang dan beratnya mencari nafkah. Serta mereka akan menjadi orang yang tidak bisa membelanjakan uangnya dengan baik.

 

[5]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak, Ketika Menangis, Terutama Anak Yang Masih Kecil.

Sering terjadi, anak kita yang masih kecil minta sesuatu. Jika kita menolaknya karena suatu alasan, ia akan memaksa atau mengeluarkan senjatanya, yaitu menangis. Akhirnya, orang tua akan segera memenuhi permintaannya karena kasihan atau agar anak segera berhenti menangis. Hal ini dapat menyebabkan sang anak menjadi lemah, cengeng dan tidak punya jati diri.

 

[6]. Terlalu Keras Dan Kaku Dalam Menghadapi Mereka, Melebihi Batas Kewajaran.

Misalnya dengan memukul mereka hingga memar, memarahinya dengan bentakan dan cacian, ataupun dengan cara-cara keras lainnya. Ini kadang terjadi ketika sang anak sengaja berbuat salah. Padahal ia (mungkin) baru sekali melakukannya.

 

[7]. Terlalu Pelit Pada Anak-Anak, Melebihi Batas Kewajaran

Ada juga orang tua yang terlalu pelit kepada anak-anaknya, hingga anak-anaknya merasa kurang terpenuhi kebutuhannya. Pada akhirnya mendorong anak-anak itu untuk mencari uang sendiri dengan bebagai cara. Misalnya : dengan mencuri, meminta-minta pada orang lain, atau dengan cara lain. Yang lebih parah lagi, ada orang tua yang tega menitipkan anaknya ke panti asuhan untuk mengurangi beban dirinya. Bahkan, ada pula yang tega menjual anaknya, karena merasa tidak mampu membiayai hidup. Naa’udzubillah mindzalik

 

[8]. Tidak Mengasihi Dan Menyayangi Mereka, Sehingga Membuat Mereka Mencari Kasih Sayang Diluar Rumah Hingga Menemukan Yang Dicarinya.

Fenomena demikian ini banyak terjadi. Telah menyebabkan anak-anak terjerumus ke dalam pergaulan bebas –waiyadzubillah-. Seorang anak perempuan misalnya, karena tidak mendapat perhatian dari keluarganya ia mencari perhatian dari laki-laki di luar lingkungan keluarganya. Dia merasa senang mendapatkan perhatian dari laki-laki itu, karena sering memujinya, merayu dan sebagainya. Hingga ia rela menyerahkan kehormatannya demi cinta semu.

 

[9]. Hanya Memperhatikan Kebutuhan Jasmaninya Saja.

Banyak orang tua yang mengira, bahwa mereka telah memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Banyak orang tua merasa telah memberikan pendidikan yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, pakaian yang bagus dan sekolah yang berkualitas. Sementara itu, tidak ada upaya untuk mendidik anak-anaknya agar beragama secara benar serta berakhlak mulia. Orang tua lupa, bahwa anak tidak cukup hanya diberi materi saja. Anak-anak juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Bila kasih sayang tidak di dapatkan dirumahnya, maka ia akan mencarinya dari orang lain.

 

[10]. Terlalu Berprasangka Baik Kepada Anak-Anaknya

Ada sebagian orang tua yang selalu berprasangka baik kepada anak-anaknya. Menyangka, bila anak-anaknya baik-baik saja dan merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan, tidak pernah mengecek keadaan anak-anaknya, tidak mengenal teman dekat anaknya, atau apa saja aktifitasnya. Sangat percaya kepada anak-anaknya. Ketika tiba-tiba, mendapati anaknya terkena musibah atau gejala menyimpang, misalnya terkena narkoba, barulah orang tua tersentak kaget. Berusaha menutup-nutupinya serta segera memaafkannya. Akhirnya yang tersisa hanyalan penyesalan tak berguna.

 

Demikianlah sepuluh kesalahan yang sering dilakukan orang tua. Yang mungkin kita juga tidak menyadari bila telah melakukannya. Untuk itu, marilah berusaha untuk terus menerus mencari ilmu, terutama berkaitan dengan pendidikan anak, agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak, yang bisa menjadi fatal akibatnya bagi masa depan mereka. Kita selalu berdo’a, semoga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi shalih dan shalihah serta berakhlak mulia. Wallahu a’lam bishshawab.

[Disadur oleh Ummu Shofia dari kitab At-Taqshir Fi Tarbiyatil Aulad, Al-Mazhahir Subulul Wiqayati Wal Ilaj, Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H/20004M, Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta. Jl Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton, Gondangrejo – Solo]

Friday, 9 February 2024

HAKEKAT, TUJUAN DAN MANFAAT PPL

1.      Hakekat PPL

Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan kokurikuler yang dilaksanakan oleh mahasiswa (calon guru) baik yang mencakup latihan mendidik, mengajar, maupun tugas pendidikan lainnya, secara terbimbing dan terpadu sebagai persyaratan profesi pendidikan.

Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan suatu muara dari seluruh program pendidikan. PPL dilaksanakan setelah mahasiswa sudah dianggap sudah memperoleh bekal pengetahuan yang memadai dengan berbagai bidang yang berkaitan dengan pengelolaan proses belajar mengajar.

Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) dapat disamakan dengan latihan kerja bagi calon pegawai hotel atau latihan kerja bagi calon dokter, hakekat semua pelatihan tersebut adalah sama yaitu mempersiapkan calon pengemban tugas dengan baik kelak.

2.      Maksud dan Tujuan PPL

Maksud dan tujuan PPL dapat dibagi menjadi dua yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus.

1.      Tujuan Secara Umum

PPL bertujuan agar mahasiswa mendapatkan secara aktual di lapangan sebagai wahana terbentuknya tenaga kependidikan yang profesional yaitu tenaga kependidikan yang memiliki perangkat pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang diperlukan bagi profesinya serta mampu menetapkan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran baik di sekolah maupun di luar sekolah.

2.      Tujuan Secara Khusus

Tujuan secara khusus yang diharapkan dapat dicapai mahasiswa melalui PPL yaitu:

1.        Mengenal secara cermat lingkungan sosial, fisik, administrasi dan akademik sekolah sebagai tempat pengabdiannya kelak.

2.        Menguasai berbagai keterampilan mengajar.

3.        Dapat menerapkan keguruan secara utuh dan terintegrasi dalam situasi nyata dengan bimbingan dosen pembimbing dan guru pamong.

4.        Dapat menerapkan keguruan secara utuh dan terintegrasi dalam situasi nyata dengan bimbingan yang minimal atau bahkan tanpa bimbingan.

5.        Mampu belajar dari penghayatan dan pengalaman selama mengikuti latihan.

3.      Manfaat PPL

Setelah pelaksanaan PPL berakhir, diharapkan dapat bermanfaat bagi yang melaksanakan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) tersebut, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) maupun bagi sekolah tempat praktek.

Secara umum bagi mahasiswa PPL memberikan manfaat yang sangat penting. Melalui PPL, mahasiswa calon guru dapat memperoleh pengalaman, pengetahuan mengajar dan mengelola kelas secara profesional, sehingga kelak sanggup atau lebih siap menjalankan tugas atau amanah sebagai seorang guru LPTK sehingga akan mendapatkan berbagai informasi tentang dunia pendidikan serta posisinya di sekolah lanjutan. Sehingga menemukan suatu cara atau sistem menyiapkan dan menghasikan guru yang sesuai dengan kebutuhan sekolah atau ahli dalam bidang tersebut.

Juga tak kalah bermanfaatnya bagi sekolah karena sedikit banyaknya akan memberikan konstribusi bagi kepentingan kependidikan di sekolah yang bersangkutan, misalnya dengan adanya pengalaman baru atau motivasi bagi pihak sekolah untuk berbenah diri baik secara individual maupun secara kolektif demi kepentingan kependidikan.

Monday, 1 January 2024

ALAM DAN LINGKUNGAN DALAM PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


Abstrak

            Krisis alam dan lingkungan yang menimpa sebagian besar Negara belakangan ini, telah mengusik kreativitas rational dan emosional berbagai kalangan, dan munculnya berbagai macam respon baik yang bersifat epistemologis dan aksiologis, bahkan sampai respon ontologis dan teologis. Berbagai pertemuan telah dilakukan baik tingkat nasional maupun internasional untuk membahas dan kemudian mencari alternative pemacahan masalah tersebut. Hal ini merupakan bukti munculnya kesadaran global tentang lingkungan hidup yang semakin hari semakin tidak ramah bagi kelanggengan hidup manusia, yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam, alam dan lingkungan  berposisi sejajar dengan manusia, dan manusia merupakan bagian dari alam. Dengan demikian manusia diamanahkan menjadi khalifah yang bertanggung jawab untuk menyikapi alam sesuai dengan sunnah-Nya. 

 

Kata kunci: Alam, lingkungan, pendidikan Islam, khalifah.

 

 

            Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi –secara langsung ataupun tidak- semakin mendorong manusia untuk mengejar kehidupan yang lebih baik, sehingga terkadang menyikapi alam dan lingkungan hanya berdasarkan selera dan ambisi semata. Maka dapat diduga akibatnya, dampak yang terjadi adalah justru kebalikan dari harapan mayoritas manusia. Pemanasan global yang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini adalah salah satu contoh nyata.[1]

Para ahli dunia di bidang iklim yang berkumpul di ibukota Belgia, Brussel, pada tahun 2007, menyimpulkan serangkaian laporan yang memprediksi efek-efek terburuk pemanasan global. Salah satu kesimpulannya adalah temperatur akan tetap naik hingga beberapa dekade ke depan. Sehingga pada tahun 2080, sekitar 1,1 miliar hingga 3,2 miliar penduduk bumi akan kesulitan mendapatkan air. Tiap tahun terdapat 2 juta hingga 7 juta orang meninggal dunia akibat banjir di kawasan pesisir pantai. Beragam penyakit tropis akan menyebar dengan cepat. Di samping itu, perubahan iklim juga akan membawa konsekuensi sangat luas terhadap keanekaragaman makhluk hidup di bumi. Di samping itu, kajian ilmiah memprediksi, 20-30 persen dari total spesies terancam punah akibat peningkatan suhu 1,5 derajat hingga 2,5 derajat Celcius.

            Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam, alam dan lingkungan adalah faktor yang sungguh-sungguh tak boleh terabaikan. Pendidik Muslim hendaklah membina pendiriannya berdasarkan pandangan dari inti pengajaran Islam tentang seluruh aspek yang terkait dengan pendidikan.[2]

            Di sinilah terlihat, pembicaraan mengenai pandangan Filsafat Pendidikan Islam tentang alam dan lingkungan memiliki relevansi dan signifikansi yang kuat. Tulisan ini akan mengulas bagaimana pandangan Pendidikan Islam tentang alam dan lingkungan –secara filosofis- dengan mengacu pada isyarat Alquran, yang merupakan landasan pendidikan Islam itu sendiri,[3] serta pandangan para pemikir/pemerhati kependidikan Islam.

 

Alam dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam

            Kata alam berasal dari bahasa Arab 'alam, satu akar kata dengan 'ilmu (pengetahuan) dan alamat (pertanda). Di sebut demikian karena jagad raya ini adalah pertanda adanya Sang Maha Pencipta. Dalam bahasa Yunani, alam jagad raya ini disebut kosmos yang berarti serasi, harmonis.[4] Alam sebagai pertanda adanya Pencipta, sejalan dengan pandangan Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa alam semesta adalah sebuah pertanda yang menunjukkan kepada sesuatu yang berada di atasnya dan tanpa sesuatu itu alam semesta beserta sebab-sebab alamiahnya tidak pernah ada.[5]

            Dalam buku Ahmad Baiquni diceritakan bahwa Gumauw Alpher dan Herman mengatakan bahwa pada saat itu terjadi ledakan yang amat dahsyat yng melemparkan materi seluruh jagad raya ke semua arah, yang kemudian membentuk bintang-bintang dan galaksi. Alam semesta lahir dari sebuah singularitas dengan keadaan ekstrem. Nyata di sini bahwa fisikawan akhirnya mengakui bahwa semula alam tiada tetapi kemudian, sekitar 15 milyar tahun yang lalu, tercipta dari ketiadaan, sebab fakta-fakta hasil observasi yang menelorkan kesimpulan itu tidak dapat disangkal. Masih menurut Baiquni, jika kita ingin bandingkan dengan Alquran, maka akan terasa sejalan dengan surat al Anbiya/21:30.[6] Mengenai pemisahan yang sekaligus dapat dipahami sebagai perluasan/ekspansi alam semesta, yang menaburkan materi paling tidak sebanyak 100 miliar galaksi yang masing-masing berisi rata-rata 100 milyar bintang itu, Alquran surat Adz Dzariyat/51:47[7] pada dasarnya telah lama mengisyaratkannya.[8]

            Nurcholish Madjid, ketika berbicara tentang alam dalam perspektif Alquran lebih fokus pada eksistensi dan tujuan diciptakannya alam itu. Menurutnya, yang pertama-tama harus dipahami tentang alam raya ini, sepanjang keterangan yang didapatkan dalam Alquran, ialah eksistensinya yang haq yakni benar dan nyata serta baik. Dengan mengutip ayat Alquran dia menyatakan, karena alam semesta ini diciptakan oleh Allah "dengan hq" tidak diciptakan secara main-main (lab), dan tidak pula secara palsu (bathil), karena bereksistensi benar dan nyata, maka semua bentuk pengalaman di dalamnya, termasuk pengalaman hidup manusia, adalah benar dan nyata, ia bisa memberikan kebahagiaan atau kesengsaraan dalam kemungkinan yang sama, tergantung bagaimana menangani pengalaman itu. [9]

           

            Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik benang merah bahwa pandangan Filsafat Pendidikan Islam tentang alam sangat berbeda dengan pandangan kaum idealis ataupun materialis. Kaum idealis memandang alam sebagai sesuatu yang maya, palsu berupa tipuan dan yang nyata adalah yang ada dalam idea. Alam dipandang sebagai sesuatu yang bersifat rohani. Sementara kaum materialis memandang bahwa apa saja yang ada sekaligus bersifat kealaman dan bersifat kebendaan mati.[10]

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, alam semesta diciptakan oleh sang Maha Pencipta sesuai sunnah-Nya. Alam ini merupakan kenyataan yang sebenarnya, bukan sesuatu yang hampa, karenanya dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai fasilitas dan perangkat untuk memenuhi kebutuhannya sebagai ciptaan yang terbaik.[11] Sekaligus dalam menunaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi serta sebagai hamba yang berkewajiban mengabdi kepada Allah.[12]

Dengan kedudukannya sebagai khalifah itulah, manusia kemudian memiliki tanggung jawab untuk menyikapi alam sesuai dengan sunnah-Nya dalam rangka menerapkan sikap ketundukannya kepada Sang Khalik.

 

Lingkungan dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam

            Lingkungan dalam tulisan ini, tidak dimaksudkan dalam arti kelembagaan, sebagaimana lazimnya dalam pembicaraan lingkungan pendidikan. Tetapi lingkungan dalam arti yang berkaitan dengan alam, yaitu lingkungan dalam arti environment dan ekologi.

            Environment  diartikan keadaan kesekitaran, kondisi lingkungan yang dapat memberikan pengaruh bagi makhluk hidup, termasuk sumber daya alam, iklim, dan kondisi sosial. Sedangkan ekologi adalah membicarakan tentang struktur dan model hubungan antara berbagai makhluk hidup dengan keadaan sekitarnya.[13]

            Lingkungan terkategori kepada lingkungan alam yang mencakup lingkungan yang sudah tersedia secara alamiah dan lingkungan sosial di mana manusia melakukan interaksi dalam bentuk pengelolaan hubungan dengan alam dan buatannya melalui pengembangan perangkat nilai, ideology, sosial dan budaya sehingga dapat menentukan arah pembangunan lingkungan yang selaras dan sesuai dengan daya dukung lingkungan yang sering disebut etika lingkungan, yakni tanggung jawab dan kesadaran memperhatikan kepentingan sekarang dan masa depan.[14]

            Kesadaran tentang etika lingkungan baru muncul belakangan ini, setelah lingkungan menunjukkan gejala krisisnya. Selama ini pembicaraan tentang lingkungan seringkali lebih menekankan faktor dan analisa ekonomi politik, dan demografi, sementara aspek etik tidak banyak dibicarakan, meskipun disadari penting.[15] Karena terlepas dari pertimbangan etik, moral, dan spiritual, akibatnya bisa diduga, sebagaimana disinyalir Soedjatmoko bahwa: tidak adanya atau semakin teruduksinya nilai-nilai dalam proses perubahan masyarakat akan mempengaruhi pula perilaku masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya.[16]

            Tereduksinya nilai-nilai dalam proses perubahan masyarakat mengakibatkan makin menjauhnya sains dan teknologi dari pertimbangan etika, dan ini seringkali mendatangkan akibat yang sangat buruk bagi kehidupan manusia, walaupun tak dapat disangkal sains dan teknologi di sisi yang lain telah memberikan berkah yang sangat besar bagi mempermudah kehidupan manusia.

Sedikitnya ada tiga akibat yang dapat disimpulkan yaitu akibat-akibat psikologis, akibat-akibat terhadap pola pikir manusia dan masa depan ekologi manusia. Hal yang disebut terakhir adalah merupakan akibat teknis langsung dari eksploitasi alam yang dilakukan sama sekali terlepas dari pertimbangan-pertimbangan etik, moral, dan spiritual. Dari ketiga hal tersebut, hal yang terakhirlah yang paling terasa, karena telah menjadi fenomena global.[17]

            Apa indikasi yang lebih kongkrit dan menunjukkan gejala ekstrem atas krisis lingkungan yang nampaknya kini sangat mencekam? Dan bagaimana dengan kondisi lingkungan sosial yang memang sangat ditentukan oleh ulah manusia juga?

            Pada tahun 1990 Raymond Torum menulis sebuah buku dengan judul Globalisasi: Bumi Makin Panas. Buku tersebut menganalisis tiga hal yang merupakan indikasi adanya krisis lingkungan. Pertama: semakin panasnya suhu bumi, yang disebabkan oleh adanya hambatan pemantulan kembali panas (matahari) dari permukaan bumi ke angkasa luar yang disebut sebagai gejala rumah kaca. Adanya penumpukan CO2 yang dihasilkan oleh pembakaran kayu dan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara, di atmosfir bumi membentuk semacam selimut yang menutupi permukaan bumi sehingga menghambat pemantulan panas matahari dari permukaan bumi ke angkasa luar. Kedua: penipisan lapisan ozon (O3)[18] yang berada sekitar 13 km dari permukaan bumi. Terjadinya penipisan lapisan ozon merupakan akibat dari tingginya penggunaan gas Freon dalam tabung penyemprot (spray) dari jenis-jenis anti nyamuk, alat-alat kosmetik, dan lain-lain. Ketiga: di samping dua indikasi tersebut, masih terdapat sederetan persoalan ekologis yang menghantui masa depan kehidupan manusia, seperti penciutan hutan tropis sebagai paru-paru dunia, meluasnya gurun, merajalelanya polusi, masalah limbah industri dan lain-lain. Semua krisis ekologis ini merupakan dampak perkembangan sains dan teknologi.[19]

            Mengapa sains dan teknologi ditengarai sebagai pembawa dampak negative dalam lingkungan seperti itu? Jawabannya dapat dikembalikan pada statemen tentang pemisahan pertimbangan etik, moral, dan spiritual dari sains dan teknologi.

            Menurut analisis Azyumardi Azra, bahwa ideologi modernisasi dan industrialisasi di Barat bukan  satu-satunya faktor penyebab krisis lingkungan di dunia Islam. Terdapat beberapa faktor lain, pertama: faktor intern di kalangan masyarakat Islam sendiri yaitu misperception dan mispractice terhadap doktrin ajaran Islam. Kedua: munculnya ideology Barat yang dibawa oleh para modernisme dan westernisme muslim.[20]

            Kondisi lingkungan seperti dijelaskan di atas disinyalir akan terus meningkat memanas, bila tidak dicari alternative solusi yang dapat membalik kondisi tersebut.

 

Analisis Implikatif

            Seakan menafsirkan maksud ayat Q. S. al Hasyr: 18[21] James Robertston dalam The Sane Alternative: A Choice of Future menawarkan suatu konsep scenario masa depan seraya menekankan perlunya keseimbangan dalam diri manusia secara pribadi, dengan orang lain, dan antara manusia dengan alam, dan menempatkan ekologi sebagai bagian terpenting dalam menghadapi kehidupan manusia masa depan.[22]

            Dalam pandanga Ismail Raji al-Faruqi, manusia sebagai pelaku dari tindakan moral hendaknya harus mampu mengubah dirinya, sesamanya atau masyarakatnya, alam dan lingkungannya, untuk bisa mengaktualisasikan pola atau perintah Allah dalam dirinya sendiri dan juga dalam diri yang lainnya.[23]

            Setelah memahami keterkaitan dan keharusan memadukan aspek rasional fisikal pengetahuan manusia dengan aspek etik moral dan spiritualnya dalam menyikapi lingkungan, lantas apa yang mesti dilakukan? Bagaimana mengantisipasi krisis lingkungan yang nampaknya sudah demikian memprihatinkan?.

            Dalam pandangan Nasr, penanggulangan krisis lingkungan tidak akan dapat dilakukan kecuali dengan menghilangkan malaise spiritual manusia modern dan penemuan kembali dunia jiwa yang selalu menyediakan diri-Nya bagi mereka yang terbuka dan siap menerima sinar pancaran-Nya. Nasr kemudian menawarkan dua agenda profetis tradisionalisme Islam dalam konteks krisis lingkungan. Pertama: perumusan, memformulasikan dan memperkenalkan sejelas-jelasnya dalam bahasan kontemporer, hikmah perennial islam tentang tatanan alam, signifikansi religius dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua: mengembangkan kesadaran akan ajaran-ajaran syariah mengenai perlakuan secara etis terhadap lingkungan alam, dan memperluas bidang aplikasinya.[24]

            Apa yang ditawarkan  Nasr tersebut belum merupakan sesuatu yang siap dilaksanakan, tetapi masih memerlukan kerja keras, baik pada tingkat perumusan  tentang lingkungan dan kaitannya dengan nilai ajaran, maupun upaya menumbuhkembangkan kesadaran tentang itu. Setelah itu merumuskan langkah-langkah strategis praktis untuk bagaimana gagasan dan rumusan-rumusan itu dapat dipahami dan menjadi realitas aksi yang senyatanya secara meluas di kalangan umat. Dalam kesemua tahapan langkah-langkah itu, dunia pendidikan dapat mengambil peran pionir, strategis dan efektif.

Penutup

            Dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam, alam adalah segala sesuatu selain Allah. Univers-cosmos yang dengan kudrat-Nya sejak penciptaan memiliki arti berada dalam keseimbangan tatanan alam secara keseluruhan. Manusia adalah bagian dan karenanya secara alamiah sejajar dengan alam yang penuh keseimbangan. Dalam kesejajaran secara alamiah itu, dengan qudrat-Nya pula, manusia diberi kelebihan secara fitri dan bimbingan religius agar dapat menjalankan fungsinya  sebagai hamba sekaligus sebagai khalifah.

            Lingkungan sebagai kondisi kesekitaran, dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam, berangkat dari pandangannya tentang alam. Karenanya keseimbangan perlu dijaga dan disejajarkan dalam kehidupan praktis dengan sikap/tindakan pelestarian. Tanpa sikap dan tindakan keseimbangan dan pelestarian, maka pada gilirannya akan mengganggu lingkungan bahkan merusak lingkungan.

            Implikasi pandangan tentang alam dan lingkungan seperti disebut di atas, mendorong keharusan memelihara sikap rasional materialistic dengan nilai etik, moral dan spiritual. Karena alam dan lingkungan yang syahadah tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan yang Maha Melindungi, sebagai pemelihara yang sekaligus sumber dari segalanya.

            Terlepas dari itu semua, masih diperlukan langkah-langkah besar dan panjang dalam dunia pendidikan Islam, untuk dapat menemukan pandangan yang jelas dan riil, yang siap pakai ke tingkat aksi, tentang alam dan lingkungan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alquran al-Karim

 

Al-Syaibany, Omar Muhammad al- Toumy,  Falsafah al Tarbiyah al Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung "Falsafah Pendidikan Islam". Jakarta: Bulan Bintang,

 

Arifin. Syamsul dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Cet. I. Yogyakarta: Sipres, 1996.

 

Al-Faruqi, Ismail Raji, Tawhid: Its Implications for Thought and Life, diterjemahkan oleh Rahmi Astuti, "Tauhid", Cet. I. Bandung: Pustaka, 1988.

 

Baiquni, Achmad, Alquran Ilmu Pengetahuan dan Teknolog., Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1995.

 

Budisantoso, Surna T. Djajadiningrat, S.,Editor, Islam dan Lingkungan Hidup, Cet. I. Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997.

 

Darajat, Zakiah,  Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara-Dirjen Binbaga Islam Depag, 1992.

 

Kattsaff, Louis O., Elemen of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, "Pengantar Filsafat".Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.

 

Langgulung, Hasan, Falsafah Pendidikan Islam. t.p. t.th .

 

Muzani, Saiful, Homo Islamicus: Menuju Spiritualitas Lingkungan, dalam "Islamik" No. 3 Januari-Maret 1994.

 

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.

Nasr, Seyyed Hossein, Traditional Islam in the Modern World, diterjemahkan oleh Luqman Hakim, "Islam Tradisi di Tengah Kancah Modern", Cet. I. Bandung: Pustaka, 1994.

 

Rahman, Fazlur, Major Themes of the Quran. Diterjemahkan oleh Anas Mahmuddin, " Tema-tema Pokok Alquran. Bandung: Pustaka, 1983.

 

The New Encyclopedia Britanica, Vol. III, h. 912 dan Volume VII, h. 923.

 

 

           



[1] Awal pekan Mei 2007, pemimpin agama-agama di Amerika Serikat, mendesak Kongres dan Presiden George Bush agar melakukan tindakan kongkrit untuk menanggulangi pemanasan global. Salah satu  bunyi surat terbuka dari 20 kelompok agama tersebut  mengatakan bahwa perubahan iklim adalah masalah moral dan spiritual, pemanasan global adalah kenyataan dan itu disebabkan oleh ulah manusia.

[2] Omar Muhammad al Toumy al Syaibany, Falsafah al Tarbiyah al Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung "Falsafah Pendidikan Islam", (Jakarta: Bulan Bintang, 1983) h. 56.

[3] Tentang landasan Pendidikan Islam, lihat Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam,  h. 38-47, juga Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara-Dirjen Binbaga Islam Depag, 1992), h. 19-24.

[4] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 289.

[5] Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran, diterjemahkan oleh Anas Mahmuddin, " Tema-tema Pokok Alquran, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 100-103.

[6] "Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya". Q. S. al Anbiya/21: 30

[7] "Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan sesungguhnya kami benar-benar meluaskannya". Q. S. adz Dzariyat/51: 47

[8] Achmad Baiquni, Alquran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), h. 14-15

[9] Nurcholish Madjid, Islam, h. 278-288.

[10] Louis O. Kattsaff, Elemen of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, "Pengantar Filsafat", (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), Cet. VII, h. 220-227

[11] "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". Q. S. at Tiin/95: 4

[12] "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Q. S. al Baqarah/2: 30. Juga Q. S. adz Dzariyat: 56, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku

[13] The New Encyclopedia Britanica, Vol. III, h. 912 dan Volume VII, h. 923.

[14] Surna T. Djajadiningrat, S. Budisantoso (Editor), Islam dan Lingkungan Hidup, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997), h. 6,9.

[15] Saiful Muzani, Homo Islamicus: Menuju Spiritualitas Lingkungan, dalam "Islamik" No. 3 Januari-Maret 1994, h. 23.

[16] Syamsul Arifin dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Cet. I, (Yogyakarta: Sipres, 1996), h. 178.

[17] Ibid., h. 174.

[18] Ozon berfungsi sebagai selimut atmosfir bumi yang membantu melindungi semua organisme dari sengatan sinar ultraviolet dari matahari ke permukaan bumi. Sinar ultraviolet yang langsung menimpa organisme di permukaan bumi bisa menyebabkan penyakit kanker kulit dan katarak mata, dan juga mengurangi kemampuan sistem kekebalan dan selanjutnya dapat mematikan banyak organisme.

[19] Syamsul Arifin, op., cit., h. 175-176.

[20] Dialog; Homo Islamicus: Menuju Spiritualisasi Lingkungan, dalam "Islamika", h. 28.

[21] Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q. S. al Hasyr/59 : 18).

[22] Syamsul Arifin dkk., op. cit., h. 171.

[23] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid: Its Implications for Thought and Life, diterjemahkan oleh Rahmi Astuti, "Tauhid", cet. I, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 12.

[24] Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, diterjemahkan oleh Luqman Hakim, "Islam Tradisi di Tengah Kancah Modern", cet. I, (Bandung: Pustaka, 1994).


Tulisan oleh :

Oleh: Sitti Mania

ANDA PENGUNJUNG KE :

CARI ARTIKEL LAIN DI BLOG INI DENGAN MEMASUKKAN KATA PADA KOLOM SEARCH DIBAWAH