Abstrak
Krisis alam dan lingkungan yang menimpa sebagian besar Negara belakangan ini, telah mengusik kreativitas rational dan emosional berbagai kalangan, dan munculnya berbagai macam respon baik yang bersifat epistemologis dan aksiologis, bahkan sampai respon ontologis dan teologis. Berbagai pertemuan telah dilakukan baik tingkat nasional maupun internasional untuk membahas dan kemudian mencari alternative pemacahan masalah tersebut. Hal ini merupakan bukti munculnya kesadaran global tentang lingkungan hidup yang semakin hari semakin tidak ramah bagi kelanggengan hidup manusia, yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam, alam dan lingkungan berposisi sejajar dengan manusia, dan manusia merupakan bagian dari alam. Dengan demikian manusia diamanahkan menjadi khalifah yang bertanggung jawab untuk menyikapi alam sesuai dengan sunnah-Nya.
Kata kunci: Alam, lingkungan, pendidikan Islam, khalifah.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi –secara langsung ataupun tidak- semakin mendorong manusia untuk mengejar kehidupan yang lebih baik, sehingga terkadang menyikapi alam dan lingkungan hanya berdasarkan selera dan ambisi semata. Maka dapat diduga akibatnya, dampak yang terjadi adalah justru kebalikan dari harapan mayoritas manusia. Pemanasan global yang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini adalah salah satu contoh nyata.[1]
Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam, alam dan lingkungan adalah faktor yang sungguh-sungguh tak boleh terabaikan. Pendidik Muslim hendaklah membina pendiriannya berdasarkan pandangan dari inti pengajaran Islam tentang seluruh aspek yang terkait dengan pendidikan.[2]
Di sinilah terlihat, pembicaraan mengenai pandangan Filsafat Pendidikan Islam tentang alam dan lingkungan memiliki relevansi dan signifikansi yang kuat. Tulisan ini akan mengulas bagaimana pandangan Pendidikan Islam tentang alam dan lingkungan –secara filosofis- dengan mengacu pada isyarat Alquran, yang merupakan landasan pendidikan Islam itu sendiri,[3] serta pandangan para pemikir/pemerhati kependidikan Islam.
Alam dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
Kata alam berasal dari bahasa Arab 'alam, satu akar kata dengan 'ilmu (pengetahuan) dan alamat (pertanda). Di sebut demikian karena jagad raya ini adalah pertanda adanya Sang Maha Pencipta. Dalam bahasa Yunani, alam jagad raya ini disebut kosmos yang berarti serasi, harmonis.[4] Alam sebagai pertanda adanya Pencipta, sejalan dengan pandangan Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa alam semesta adalah sebuah pertanda yang menunjukkan kepada sesuatu yang berada di atasnya dan tanpa sesuatu itu alam semesta beserta sebab-sebab alamiahnya tidak pernah ada.[5]
Dalam buku Ahmad Baiquni diceritakan bahwa Gumauw Alpher dan Herman mengatakan bahwa pada saat itu terjadi ledakan yang amat dahsyat yng melemparkan materi seluruh jagad raya ke semua arah, yang kemudian membentuk bintang-bintang dan galaksi. Alam semesta lahir dari sebuah singularitas dengan keadaan ekstrem. Nyata di sini bahwa fisikawan akhirnya mengakui bahwa semula alam tiada tetapi kemudian, sekitar 15 milyar tahun yang lalu, tercipta dari ketiadaan, sebab fakta-fakta hasil observasi yang menelorkan kesimpulan itu tidak dapat disangkal. Masih menurut Baiquni, jika kita ingin bandingkan dengan Alquran, maka akan terasa sejalan dengan
Nurcholish Madjid, ketika berbicara tentang alam dalam perspektif Alquran lebih fokus pada eksistensi dan tujuan diciptakannya alam itu. Menurutnya, yang pertama-tama harus dipahami tentang alam raya ini, sepanjang keterangan yang didapatkan dalam Alquran, ialah eksistensinya yang haq yakni benar dan nyata serta baik. Dengan mengutip ayat Alquran dia menyatakan, karena alam semesta ini diciptakan oleh Allah "dengan hq" tidak diciptakan secara main-main (lab), dan tidak pula secara palsu (bathil), karena bereksistensi benar dan nyata, maka semua bentuk pengalaman di dalamnya, termasuk pengalaman hidup manusia, adalah benar dan nyata, ia bisa memberikan kebahagiaan atau kesengsaraan dalam kemungkinan yang sama, tergantung bagaimana menangani pengalaman itu. [9]
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik benang merah bahwa pandangan Filsafat Pendidikan Islam tentang alam sangat berbeda dengan pandangan kaum idealis ataupun materialis. Kaum idealis memandang alam sebagai sesuatu yang maya, palsu berupa tipuan dan yang nyata adalah yang ada dalam idea. Alam dipandang sebagai sesuatu yang bersifat rohani. Sementara kaum materialis memandang bahwa apa saja yang ada sekaligus bersifat kealaman dan bersifat kebendaan mati.[10]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, alam semesta diciptakan oleh sang Maha Pencipta sesuai sunnah-Nya. Alam ini merupakan kenyataan yang sebenarnya, bukan sesuatu yang hampa, karenanya dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai fasilitas dan perangkat untuk memenuhi kebutuhannya sebagai ciptaan yang terbaik.[11] Sekaligus dalam menunaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi serta sebagai hamba yang berkewajiban mengabdi kepada Allah.[12]
Dengan kedudukannya sebagai khalifah itulah, manusia kemudian memiliki tanggung jawab untuk menyikapi alam sesuai dengan sunnah-Nya dalam rangka menerapkan sikap ketundukannya kepada Sang Khalik.
Lingkungan dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
Lingkungan dalam tulisan ini, tidak dimaksudkan dalam arti kelembagaan, sebagaimana lazimnya dalam pembicaraan lingkungan pendidikan. Tetapi lingkungan dalam arti yang berkaitan dengan alam, yaitu lingkungan dalam arti environment dan ekologi.
Environment diartikan keadaan kesekitaran, kondisi lingkungan yang dapat memberikan pengaruh bagi makhluk hidup, termasuk sumber daya alam, iklim, dan kondisi sosial. Sedangkan ekologi adalah membicarakan tentang struktur dan model hubungan antara berbagai makhluk hidup dengan keadaan sekitarnya.[13]
Lingkungan terkategori kepada lingkungan alam yang mencakup lingkungan yang sudah tersedia secara alamiah dan lingkungan sosial di mana manusia melakukan interaksi dalam bentuk pengelolaan hubungan dengan alam dan buatannya melalui pengembangan perangkat nilai, ideology, sosial dan budaya sehingga dapat menentukan arah pembangunan lingkungan yang selaras dan sesuai dengan daya dukung lingkungan yang sering disebut etika lingkungan, yakni tanggung jawab dan kesadaran memperhatikan kepentingan sekarang dan masa depan.[14]
Kesadaran tentang etika lingkungan baru muncul belakangan ini, setelah lingkungan menunjukkan gejala krisisnya. Selama ini pembicaraan tentang lingkungan seringkali lebih menekankan faktor dan analisa ekonomi politik, dan demografi, sementara aspek etik tidak banyak dibicarakan, meskipun disadari penting.[15] Karena terlepas dari pertimbangan etik, moral, dan spiritual, akibatnya bisa diduga, sebagaimana disinyalir Soedjatmoko bahwa: tidak adanya atau semakin teruduksinya nilai-nilai dalam proses perubahan masyarakat akan mempengaruhi pula perilaku masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya.[16]
Tereduksinya nilai-nilai dalam proses perubahan masyarakat mengakibatkan makin menjauhnya sains dan teknologi dari pertimbangan etika, dan ini seringkali mendatangkan akibat yang sangat buruk bagi kehidupan manusia, walaupun tak dapat disangkal sains dan teknologi di sisi yang lain telah memberikan berkah yang sangat besar bagi mempermudah kehidupan manusia.
Sedikitnya ada tiga akibat yang dapat disimpulkan yaitu akibat-akibat psikologis, akibat-akibat terhadap pola pikir manusia dan masa depan ekologi manusia. Hal yang disebut terakhir adalah merupakan akibat teknis langsung dari eksploitasi alam yang dilakukan sama sekali terlepas dari pertimbangan-pertimbangan etik, moral, dan spiritual. Dari ketiga hal tersebut, hal yang terakhirlah yang paling terasa, karena telah menjadi fenomena global.[17]
Apa indikasi yang lebih kongkrit dan menunjukkan gejala ekstrem atas krisis lingkungan yang nampaknya kini sangat mencekam? Dan bagaimana dengan kondisi lingkungan sosial yang memang sangat ditentukan oleh ulah manusia juga?
Pada tahun 1990 Raymond Torum menulis sebuah buku dengan judul Globalisasi: Bumi Makin Panas. Buku tersebut menganalisis tiga hal yang merupakan indikasi adanya krisis lingkungan. Pertama: semakin panasnya suhu bumi, yang disebabkan oleh adanya hambatan pemantulan kembali panas (matahari) dari permukaan bumi ke angkasa luar yang disebut sebagai gejala rumah kaca. Adanya penumpukan CO2 yang dihasilkan oleh pembakaran kayu dan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara, di atmosfir bumi membentuk semacam selimut yang menutupi permukaan bumi sehingga menghambat pemantulan panas matahari dari permukaan bumi ke angkasa luar. Kedua: penipisan lapisan ozon (O3)[18] yang berada sekitar 13 km dari permukaan bumi. Terjadinya penipisan lapisan ozon merupakan akibat dari tingginya penggunaan gas Freon dalam tabung penyemprot (spray) dari jenis-jenis anti nyamuk, alat-alat kosmetik, dan lain-lain. Ketiga: di samping dua indikasi tersebut, masih terdapat sederetan persoalan ekologis yang menghantui masa depan kehidupan manusia, seperti penciutan hutan tropis sebagai paru-paru dunia, meluasnya gurun, merajalelanya polusi, masalah limbah industri dan lain-lain. Semua krisis ekologis ini merupakan dampak perkembangan sains dan teknologi.[19]
Mengapa sains dan teknologi ditengarai sebagai pembawa dampak negative dalam lingkungan seperti itu? Jawabannya dapat dikembalikan pada statemen tentang pemisahan pertimbangan etik, moral, dan spiritual dari sains dan teknologi.
Menurut analisis Azyumardi Azra, bahwa ideologi modernisasi dan industrialisasi di Barat bukan satu-satunya faktor penyebab krisis lingkungan di dunia Islam. Terdapat beberapa faktor lain, pertama: faktor intern di kalangan masyarakat Islam sendiri yaitu misperception dan mispractice terhadap doktrin ajaran Islam. Kedua: munculnya ideology Barat yang dibawa oleh para modernisme dan westernisme muslim.[20]
Kondisi lingkungan seperti dijelaskan di atas disinyalir akan terus meningkat memanas, bila tidak dicari alternative solusi yang dapat membalik kondisi tersebut.
Analisis Implikatif
Seakan menafsirkan maksud ayat Q. S. al Hasyr: 18[21] James Robertston dalam The Sane Alternative: A Choice of Future menawarkan suatu konsep scenario masa depan seraya menekankan perlunya keseimbangan dalam diri manusia secara pribadi, dengan orang lain, dan antara manusia dengan alam, dan menempatkan ekologi sebagai bagian terpenting dalam menghadapi kehidupan manusia masa depan.[22]
Dalam pandanga Ismail Raji al-Faruqi, manusia sebagai pelaku dari tindakan moral hendaknya harus mampu mengubah dirinya, sesamanya atau masyarakatnya, alam dan lingkungannya, untuk bisa mengaktualisasikan pola atau perintah Allah dalam dirinya sendiri dan juga dalam diri yang lainnya.[23]
Setelah memahami keterkaitan dan keharusan memadukan aspek rasional fisikal pengetahuan manusia dengan aspek etik moral dan spiritualnya dalam menyikapi lingkungan, lantas apa yang mesti dilakukan? Bagaimana mengantisipasi krisis lingkungan yang nampaknya sudah demikian memprihatinkan?.
Dalam pandangan Nasr, penanggulangan krisis lingkungan tidak akan dapat dilakukan kecuali dengan menghilangkan malaise spiritual manusia modern dan penemuan kembali dunia jiwa yang selalu menyediakan diri-Nya bagi mereka yang terbuka dan siap menerima sinar pancaran-Nya. Nasr kemudian menawarkan dua agenda profetis tradisionalisme Islam dalam konteks krisis lingkungan. Pertama: perumusan, memformulasikan dan memperkenalkan sejelas-jelasnya dalam bahasan kontemporer, hikmah perennial islam tentang tatanan alam, signifikansi religius dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua: mengembangkan kesadaran akan ajaran-ajaran syariah mengenai perlakuan secara etis terhadap lingkungan alam, dan memperluas bidang aplikasinya.[24]
Apa yang ditawarkan Nasr tersebut belum merupakan sesuatu yang siap dilaksanakan, tetapi masih memerlukan kerja keras, baik pada tingkat perumusan tentang lingkungan dan kaitannya dengan nilai ajaran, maupun upaya menumbuhkembangkan kesadaran tentang itu. Setelah itu merumuskan langkah-langkah strategis praktis untuk bagaimana gagasan dan rumusan-rumusan itu dapat dipahami dan menjadi realitas aksi yang senyatanya secara meluas di kalangan umat. Dalam kesemua tahapan langkah-langkah itu, dunia pendidikan dapat mengambil peran pionir, strategis dan efektif.
Penutup
Dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam, alam adalah segala sesuatu selain Allah. Univers-cosmos yang dengan kudrat-Nya sejak penciptaan memiliki arti berada dalam keseimbangan tatanan alam secara keseluruhan. Manusia adalah bagian dan karenanya secara alamiah sejajar dengan alam yang penuh keseimbangan. Dalam kesejajaran secara alamiah itu, dengan qudrat-Nya pula, manusia diberi kelebihan secara fitri dan bimbingan religius agar dapat menjalankan fungsinya sebagai hamba sekaligus sebagai khalifah.
Lingkungan sebagai kondisi kesekitaran, dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam, berangkat dari pandangannya tentang alam. Karenanya keseimbangan perlu dijaga dan disejajarkan dalam kehidupan praktis dengan sikap/tindakan pelestarian. Tanpa sikap dan tindakan keseimbangan dan pelestarian, maka pada gilirannya akan mengganggu lingkungan bahkan merusak lingkungan.
Implikasi pandangan tentang alam dan lingkungan seperti disebut di atas, mendorong keharusan memelihara sikap rasional materialistic dengan nilai etik, moral dan spiritual. Karena alam dan lingkungan yang syahadah tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan yang Maha Melindungi, sebagai pemelihara yang sekaligus sumber dari segalanya.
Terlepas dari itu semua, masih diperlukan langkah-langkah besar dan panjang dalam dunia pendidikan Islam, untuk dapat menemukan pandangan yang jelas dan riil, yang siap pakai ke tingkat aksi, tentang alam dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Alquran al-Karim
Al-Syaibany, Omar Muhammad al- Toumy, Falsafah al Tarbiyah al Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung "Falsafah Pendidikan Islam".
Arifin. Syamsul dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Cet. I. Yogyakarta: Sipres, 1996.
Al-Faruqi, Ismail Raji, Tawhid: Its Implications for Thought and Life, diterjemahkan oleh Rahmi Astuti, "Tauhid", Cet. I. Bandung: Pustaka, 1988.
Baiquni, Achmad, Alquran Ilmu Pengetahuan dan Teknolog.,
Budisantoso, Surna T. Djajadiningrat, S.,Editor, Islam dan Lingkungan Hidup, Cet. I. Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997.
Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam.
Kattsaff, Louis O., Elemen of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, "Pengantar Filsafat".Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Langgulung, Hasan, Falsafah Pendidikan Islam. t.p. t.th .
Muzani, Saiful, Homo Islamicus: Menuju Spiritualitas Lingkungan, dalam "Islamik" No. 3 Januari-Maret 1994.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban.
Nasr, Seyyed Hossein, Traditional Islam in the Modern World, diterjemahkan oleh Luqman Hakim, "Islam Tradisi di Tengah Kancah Modern", Cet. I. Bandung: Pustaka, 1994.
Rahman, Fazlur, Major Themes of the Quran. Diterjemahkan oleh Anas Mahmuddin, " Tema-tema Pokok Alquran.
The New Encyclopedia Britanica, Vol. III, h. 912 dan Volume VII, h. 923.
[1] Awal pekan Mei 2007, pemimpin agama-agama di Amerika Serikat, mendesak Kongres dan Presiden George Bush agar melakukan tindakan kongkrit untuk menanggulangi pemanasan global. Salah satu bunyi
[2] Omar Muhammad al Toumy al Syaibany, Falsafah al Tarbiyah al Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung "Falsafah Pendidikan Islam", (Jakarta: Bulan Bintang, 1983) h. 56.
[3] Tentang landasan Pendidikan Islam, lihat Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, h. 38-47, juga Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara-Dirjen Binbaga Islam Depag, 1992), h. 19-24.
[4] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 289.
[5] Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran, diterjemahkan oleh Anas Mahmuddin, " Tema-tema Pokok Alquran, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 100-103.
[6] "Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya". Q. S. al Anbiya/21: 30
[7] "Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan sesungguhnya kami benar-benar meluaskannya". Q. S. adz Dzariyat/51: 47
[8] Achmad Baiquni, Alquran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), h. 14-15
[9] Nurcholish Madjid, Islam, h. 278-288.
[10] Louis O. Kattsaff, Elemen of Philosophy, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono, "Pengantar Filsafat", (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), Cet. VII, h. 220-227
[11] "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". Q. S. at Tiin/95: 4
[12] "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Q. S. al Baqarah/2: 30. Juga Q. S. adz Dzariyat: 56, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku
[13] The New Encyclopedia Britanica, Vol. III, h. 912 dan Volume VII, h. 923.
[14] Surna T. Djajadiningrat, S. Budisantoso (Editor), Islam dan Lingkungan Hidup, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997), h. 6,9.
[15] Saiful Muzani, Homo Islamicus: Menuju Spiritualitas Lingkungan, dalam "Islamik" No. 3 Januari-Maret 1994, h. 23.
[16] Syamsul Arifin dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan, Cet. I, (Yogyakarta: Sipres, 1996), h. 178.
[17] Ibid., h. 174.
[18] Ozon berfungsi sebagai selimut atmosfir bumi yang membantu melindungi semua organisme dari sengatan sinar ultraviolet dari matahari ke permukaan bumi. Sinar ultraviolet yang langsung menimpa organisme di permukaan bumi bisa menyebabkan penyakit kanker kulit dan katarak mata, dan juga mengurangi kemampuan sistem kekebalan dan selanjutnya dapat mematikan banyak organisme.
[19] Syamsul Arifin, op., cit., h. 175-176.
[20] Dialog; Homo Islamicus: Menuju Spiritualisasi Lingkungan, dalam "Islamika", h. 28.
[21] Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q. S. al Hasyr/59 : 18).
[22] Syamsul Arifin dkk., op. cit., h. 171.
[23] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid: Its Implications for Thought and Life, diterjemahkan oleh Rahmi Astuti, "Tauhid", cet. I, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 12.
[24] Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, diterjemahkan oleh Luqman Hakim, "Islam Tradisi di Tengah Kancah Modern", cet. I, (Bandung: Pustaka, 1994).
Tulisan oleh :
Oleh: Sitti Mania