A.
Teori-teori Tentang Terjadinya Alam Semesta
1. Alam semesta tidak mungkin
statis dengan perhitungan - perhitungan berdasarkan teori relativitas (yang
mengantisipasi kesimpulan Friedman dan Lemaitre). Terkejut oleh temuannya,
Einstein menambahkan "konstanta kosmologis" pada persamaannya agar
muncul "jawaban yang benar", karena para ahli astronomi meyakinkan
dia bahwa alam semesta itu statis dan tidak ada cara lain untuk membuat
persamaannya sesuai dengan model seperti itu. Beberapa tahun kemudian, Einstein
mengakui bahwa konstanta kosmologis ini adalah kesalahan terbesar dalam
karirnya. (Pengemuka : Albert Einstein, pada tahun 1915)
2. Ditemukan perhitungan yang
menunjukkan bahwa struktur alam semesta tidaklah statis dan bahwa impuls kecil
pun mungkin cukup untuk menyebabkan struktur keseluruhan mengembang atau
mengerut menurut Teori Relativitas Einstein. (Pengemuka : Ahli fisika Rusia,
Alexandra Friedman, tahun 1922)
3. Semesta mempunyai permulaan
dan bahwa ia mengembang sebagai akibat dari sesuatu yang telah memicunya. Dia
juga menyatakan bahwa tingkat radiasi (rate of radiation) dapat digunakan
sebagai ukuran akibat (aftermath) dari "sesuatu" itu. (Pengemuka :
Astronomer Belgia, George Lemaitre adalah orang pertama yang menyadari apa arti
perhitungan Friedman)
4. Dengan mengembangkan
perhitungan George Lemaitre lebih jauh dan menghasilkan gagasan baru mengenai
Dentuman Besar. Jika alam semesta terbentuk dalam sebuah ledakan besar yang
tiba-tiba, maka harus ada sejumlah tertentu radiasi yang ditinggalkan dari
ledakan tersebut. Radiasi ini harus bisa dideteksi, dan lebih jauh, harus sama
di seluruh alam semesta. (Pengemuka : George Gamov, tahun 1948)
Teori Dentuman Besar (Big Bang) Dan Ajarannya
Persoalan mengenai bagaimana alam
semesta yang tanpa cacat ini mula-mula terbentuk, ke mana tujuannya, dan
bagaimana cara kerja hukum-hukum yang menjaga keteraturan dan keseimbangan,
sejak dulu merupakan topik yang menarik.
Pendapat kaum materialis yang berlaku selama beberapa abad hingga awal abad
ke-20 menyatakan, bahwa alam semesta memiliki dimensi tak terbatas, tidak
memiliki awal, dan akan tetap ada untuk selamanya. Menurut pandangan ini, yang
disebut "model alam semesta yang statis", alam semesta tidak memiliki
awal maupun akhir.
Dengan memberikan dasar bagi filosofi
materialis, pandangan ini menyangkal adanya Sang Pencipta, dengan menyatakan
bahwa alam semesta ini adalah kumpulan materi yang konstan, stabil, dan tidak
berubah-ubah. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-20
menghancurkan konsep-konsep primitif seperti model alam semesta yang statis.
Saat ini, pada awal abad ke-21, melalui sejumlah besar percobaan, pengamatan,
dan perhitungan, fisika modern telah mencapai kesimpulan bahwa alam semesta
memiliki awal, bahwa alam diciptakan dari ketiadaan dan dimulai oleh suatu
ledakan besar.
Selain itu, berlawanan dengan pendapat kaum materialis, kesimpulan ini
menyatakan bahwa alam semesta tidaklah stabil atau konstan, tetapi senantiasa
bergerak, berubah, dan memuai. Saat ini, fakta-fakta tersebut telah diakui oleh
dunia ilmu pengetahuan. Sekarang, marilah kita lihat bagaimana fakta-fakta yang
sangat penting ini dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.
"Semua yang berada di langit dan
yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit
dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu." (Surat al-Hadid: 1-2)
Pemuaian Alam Semesta
Pada tahun 1929, di observatorium
Mount Wilson di California, seorang astronom Amerika bernama Edwin Hubble
membuat salah satu temuan terpenting dalam sejarah astronomi. Ketika tengah
mengamati bintang dengan teleskop raksasa, dia menemukan bahwa cahaya yang
dipancarkan bintang-bintang bergeser ke ujung merah spektrum. Ia pun menemukan
bahwa pergeseran ini terlihat lebih jelas jika bintangnya lebih jauh dari bumi.
Temuan ini menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Berdasarkan hukum-hukum fisika
yang diakui, spektrum sinar cahaya yang bergerak mendekati titik pengamatan
akan cenderung ungu, sementara sinar cahaya yang bergerak menjauhi titik
pengamatan akan cenderung merah. Pengamatan Hubble menunjukkan bahwa cahaya
dari bintang-bintang cenderung ke arah warna merah. Ini berarti bahwa
bintang-bintang tersebut senantiasa bergerak menjauhi kita.
Tidak lama sesudah itu, Hubble
membuat temuan penting lainnya: Bintang dan galaksi bukan hanya bergerak
menjauhi kita, namun juga saling menjauhi. Satu-satunya kesimpulan yang dapat
dibuat tentang alam semesta yang semua isinya bergerak saling menjauhi adalah
bahwa alam semesta itu senantiasa memuai.
Agar lebih mudah dimengerti,
bayangkan alam semesta seperti permukaan balon yang tengah ditiup. Sama seperti
titik-titik pada permukaan balon akan saling menjauhi karena balonnya
mengembang, benda-benda di angkasa saling menjauhi karena alam semesta terus
memuai. Sebenarnya, fakta ini sudah pernah ditemukan secara teoretis. Albert
Einstein, salah seorang ilmuwan termasyhur abad ini, ketika mengerjakan Teori
Relativitas Umum, pada mulanya menyimpulkan bahwa persamaan yang dibuatnya
menunjukkan bahwa alam semesta tidak mungkin statis. Namun, dia mengubah
persamaan tersebut, dengan menambahkan sebuah "konstanta" untuk
menghasilkan model alam semesta yang statis, karena hal ini merupakan ide yang
dominan saat itu. Di kemudian hari Einstein menyebut perbuatannya itu sebagai
"kesalahan terbesar dalam kariernya".
Jadi, apakah pentingnya fakta
pemuaian alam semesta ini terhadap keberadaan alam semesta?
Pemuaian alam semesta secara tidak
langsung menyatakan bahwa alam semesta bermula dari satu titik tunggal. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa "satu titik tunggal" yang mengandung
semua materi alam semesta ini pastilah memiliki "volume nol" dan
"kepadatan tak terbatas". Alam semesta tercipta akibat meledaknya
titik tunggal yang memiliki volume nol tersebut. Ledakan hebat yang menandakan
awal terbentuknya alam semesta ini dinamakan Ledakan Besar (Big Bang), dan
teori ini dinamai mengikuti nama ledakan tersebut.
Harus dikatakan di sini bahwa
"volume nol" adalah istilah teoretis yang bertujuan deskriptif. Ilmu
pengetahuan hanya mampu mendefinisikan konsep "ketiadaan", yang
melampaui batas pemahaman manusia, dengan menyatakan titik tunggal tersebut
sebagai "titik yang memiliki volume nol". Sebenarnya, "titik
yang tidak memiliki volume" ini berarti "ketiadaan". Alam
semesta muncul dari ketiadaan. Dengan kata lain, alam semesta diciptakan.
Fakta ini, yang baru ditemukan oleh
fisika modern pada akhir abad ini, telah diberitakan Al Quran empat belas abad
yang lalu:
"Dia Pencipta langit dan
bumi." (QS. Al An'am:101)
Jika kita membandingkan pernyataan
pada ayat di atas dengan teori Ledakan Besar, terlihat kesamaan yang sangat
jelas. Namun, teori ini baru diperkenalkan sebagai teori ilmiah pada abad
ke-20.
Pemuaian alam semesta merupakan salah
satu bukti terpenting bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan. Meskipun
fakta di atas baru ditemukan pada abad ke-20, Allah telah memberitahukan
kenyataan ini kepada kita dalam Al Quran 1.400 tahun yang lalu:
"Dan langit itu Kami bangun
dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa."
(Surat Adz-Dzariyat:47).
Pada tahun 1948, George Gamov
mengemukakan gagasan lain mengenai teori Ledakan Besar. Dia menyatakan bahwa
setelah terbentuknya alam semesta dari ledakan hebat, di alam semesta
seharusnya terdapat surplus radiasi, yang tersisa dari ledakan tersebut. Lebih
dari itu, radiasi ini seharusnya tersebar merata di seluruh alam semesta.
Bukti "yang seharusnya ada"
ini segera ditemukan. Pada tahun 1965, dua orang peneliti bernama Arno Penzias
dan Robert Wilson, menemukan gelombang ini secara kebetulan. Radiasi yang
disebut "radiasi latar belakang" ini tampaknya tidak memancar dari
sumber tertentu, tetapi meliputi seluruh ruang angkasa. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa gelombang panas yang memancar secara seragam dari segala arah di
angkasa ini merupakan sisa dari tahapan awal Ledakan Besar. Penzias dan Wilson
dianugerahi Hadiah Nobel untuk temuan ini.
Pada tahun 1989, NASA mengirimkan
satelit Cosmic Background Explorer (COBE) ke angkasa untuk melakukan penelitian
mengenai radiasi latar belakang. Pemindai sensitif pada satelit hanya
membutuhkan waktu delapan menit untuk menegaskan perhitungan Penzias dan
Wilson. COBE telah menemukan sisa-sisa ledakan hebat yang mengawali
terbentuknya alam semesta.
Bukti penting lain berkenaan dengan
Ledakan Besar adalah jumlah hidrogen dan helium di ruang angkasa. Pada
penghitungan terbaru, diketahui bahwa konsentrasi hidrogen-helium di alam
semesta sesuai dengan penghitungan teoretis konsentrasi hidrogen-helium yang
tersisa dari Ledakan Besar. Jika alam semesta tidak memiliki awal dan jika alam
semesta ada sejak adanya keabadian (waktu yang tak terhingga), seharusnya
hidrogen terpakai seluruhnya dan diubah menjadi helium.
Semua bukti kuat ini memaksa
komunitas ilmiah untuk menerima teori Ledakan Besar. Model ini merupakan titik
terakhir yang dicapai oleh para ahli kosmologi berkaitan dengan awal mula dan
pembentukan alam semesta.
Dennis Sciama, yang membela teori keadaan
ajeg (steady-state) bersama Fred Hoyle selama bertahun-tahun, menggambarkan
posisi terakhir yang mereka capai setelah terkumpulnya semua bukti tentang
teori Ledakan Besar. Sciama mengatakan bahwa ia telah ambil bagian dalam
perdebatan sengit antara para pembela teori keadaan ajeg dan mereka yang
menguji dan berharap dapat menyangkal teori tersebut. Dia menambahkan bahwa
dulu dia membela teori keadaan ajeg bukan karena menganggap teori tersebut
benar, melainkan karena berharap bahwa teori itu benar. Fred Hoyle bertahan
menghadapi semua keberatan terhadap teori ini, sementara bukti-bukti yang
berlawanan mulai terungkap. Selanjutnya, Sciama bercerita bahwa pertama-tama ia
menentang bersama Hoyle. Akan tetapi, saat bukti-bukti mulai bertumpuk, ia
mengaku bahwa perdebatan tersebut telah selesai dan teori keadaan ajeg harus
dihapuskan.
Prof. George Abel dari University of
California juga mengatakan bahwa sekarang telah ada bukti yang menunjukkan
bahwa alam semesta bermula miliaran tahun yang lalu, yang diawali dengan
Dentuman Besar. Dia mengakui bahwa dia tidak memiliki pilihan lain kecuali
menerima teori Dentuman Besar.
Dengan kemenangan teori Dentuman
Besar, konsep "zat yang kekal" yang merupakan dasar filosofi
materialis dibuang ke tumpukan sampah sejarah. Jadi, apakah yang ada sebelum
Dentuman Besar, dan kekuatan apakah yang menjadikan alam semesta ini
"ada" melalui sebuah dentuman besar, jika sebelumnya alam semesta ini
"tidak ada"? Pertanyaan ini jelas menyiratkan, dalam kata-kata Arthur
Eddington, adanya fakta "yang tidak menguntungkan secara filosofis"
(tidak menguntungkan bagi materialis), yaitu adanya Sang Pencipta. Athony Flew,
seorang filsuf ateis terkenal, berkomentar tentang hal ini sebagai berikut:
Semua orang tahu bahwa pengakuan itu
baik bagi jiwa. Oleh karena itu, saya akan memulai dengan mengaku bahwa kaum
ateis Stratonician telah dipermalukan oleh konsensus kosmologi kontemporer.
Tampaknya ahli kosmologi memiliki bukti-bukti ilmiah tentang hal yang menurut
St. Thomas tidak dapat dibuktikan secara filosofis; yaitu bahwa alam semesta
memiliki permulaan. Sepanjang alam semesta dapat dianggap tidak memiliki akhir
maupun permulaan, orang tetap mudah menyatakan bahwa keberadaan alam semesta,
dan segala sifatnya yang paling mendasar, harus diterima sebagai penjelasan
terakhir. Meskipun saya masih percaya bahwa hal ini tetap benar, tetapi
benar-benar sulit dan tidak nyaman mempertahankan posisi ini di depan cerita
Dentuman Besar.
Banyak ilmuwan, yang tidak secara
buta terkondisikan menjadi ateis, telah mengakui keberadaan Yang Maha Pencipta
dalam penciptaan alam semesta. Sang Pencipta pastilah Dia yang menciptakan zat
dan ruang/waktu, tetapi Dia tidak bergantung pada ciptaannya. Seorang ahli
astrofisika terkenal bernama Hugh Ross mengatakan:
Jika waktu memiliki awal yang
bersamaan dengan alam semesta, seperti yang dikatakan teorema-ruang, maka
penyebab alam semesta pastilah suatu wujud yang bekerja dalam dimensi waktu
yang benar-benar independen dari, dan telah ada sebelum, dimensi waktu kosmos.
Kesimpulan ini sangat penting bagi pemahaman kita tentang siapakah Tuhan, dan
siapa atau apakah yang bukan Tuhan. Hal ini mengajarkan bahwa Tuhan bukanlah
alam semesta itu sendiri, dan Tuhan tidak berada di dalamnya
Zat dan ruang/waktu diciptakan oleh
Yang Maha Pencipta, yaitu Dia yang terlepas dari gagasan tersebut. Sang
Pencipta adalah Allah, Dia adalah Raja di surga dan di bumi.
Allah memberi tahu bukti-bukti ilmiah ini dalam Kitab-Nya, yang Dia turunkan
kepada kita manusia empat belas abad lalu untuk menunjukkan keberadaan-Nya.
B.
Hubungan Penciptaan Alam dalam Pandangan Islam dan Sains
Modern
Diantara
segi kemukjizatan Al-Qur’an adalah adanya beberapa petunjuk yang detail
mengenai ilmu pengetahuan umum yang telah ditemukan terlebih dahulu dalam
Al-Qur’an sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern. Penciptaan alam
berdasarkan konsep Islam dan Sains modern ternyata memiliki hubungan, dan dari
beberapa hasil observasi kosmolog ternyata banyak yang sesuai dengan beberapa
firman Allah SWT, antara lain sebagai berikut:
1.
Surat al-Anbiya’ ayat 30
”Dan apakah
orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya
dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahakan antara keduanya. Dan
dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah
mereka tidak juga beriman?”
Dari ayat
tersebut dapat diketahui bahwa alam semesta sebelum dipisahkan Allah merupakan
sesuatu yang padu. Sesuatu yang padu itulah yang oleh kosmolog disebut dengan
titik singularitas. Sedangkan yang dimaksud pemisahan ialah ledakan
singularitas dengan sangat dahsyat, yang kemudian menjadi alam semesta yang
terhampar.
Selanjutnya,
dikatakan bahwa segala kehidupan itu berasal dari air. Tiga ahli kosmologi dan
astronomi, yaitu Georges Lamaitre, George Gamow, dan Stephen Hawking menjelaskan
bahwa atom-atom yang tebentuk sejak peristiwa Big Bang adalah atom Hidrogen (H)
dan Helium (He). Adapun air terdiri dari atom hidrogen dan oksigen (H2O),
artinya, sejak tahun 1400 tahun silam Al-Qur’an telah menyebutkannya jauh
sebelum tiga pakar tersebut mengemukakan teorinya.
2.
Surat Az-Zariyat ayat 47
(Artinya) “Dan
langit kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar
meluaskannya.”
Menurut
Baiquni yang dimaksud Banayna bi’abidin oleh ayat ini adalah ketika
ledakan besar terjadi dan inflasi melandanya sehingga beberapa dimensinya
menjadi terbentang. Sedangkan yang dimaksud dengan inna lamusi’un,
adalah Tuhan yang membuat kosmos berekspansi. Pernyataaan ini diperkuat oleh
maksud lafal yang terpakai, yakni isim al-fa’il, active participle yang
menunjukkan bersifat tetap dan permanen seperti yang dikemukakan sebelumnya.
Hal ini berarti ekspansi alam berlangsung sejak ledakan besar sampai
seterusnya.
Kata musi’un
dalam bahasa arab sangatlah tepat diterjemahkan sebagai “meluaskan” atau
“mengembangkan” yang sesuai dengan penjelasan sains masa kini bahwa alam
semesta memang meluas atau mengembang. Stephen Hawking, dalam A Brief
History of Time (1980), mengatakan bahwa penemuan bukti mengembangkannya
alam semesta merupakan salah satu revolusi terbesar dalam ilmu
pengetahuan abad ke-20. Berdasarkan teori Bing Bang yang telah diterima, alam
semesta terbentuk sekitar 13,7 miliar tahun lalu dan terus mengembang sejak
saat itu. Pakar-pakar Astronomi mengenali empat model grafik alam semesta di
masa akan datang, yaitu accelerating expansion (pengembangan yang
bertambah cepat), open universe (alam semesta terbuka), flat unirvese
(alam semesta datar), dan closed universe (alam semesta tertutup). Model
closed universe menjelaskan bahwa suatu saat alam semesta akan mengerut.
3.
Surat Al-Fusilat ayat 11
(Artinya) “Kemudian
Dia menuju kepada penciptaan ruang alam (al-sama’) dan ruang alam (al-sama’)
ketika penuh embunan (dukhan), lalu Dia berkata kepada ruang alam (al-sama’)
dan kepada materi (al-ardh): “Datanglah kamu keduanya menurut perintahKu dengan
suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab:”Kami datang dengan suka hati.”
Sehubungan
dengan tidak adanya Al-Qur’an menjelaskan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan
kata dukhan, karena itu beberapa referensi berusaha menafsirkan kata ini
sedemikian rupa. Bucaille memahami kata ini sebagai asap yang terdiri dari stratum
(lapisan) gas dengan bagian-bagian yang kecil yang mungkin memasuki tahap
keadaan keras atau cair dan dalam suhu rendah atau tinggi. Ibnu Katsir
menafsirkan dengan sejenis uap air. Al-Raghib melukiskan kehalusan dan
keringanan sifat dukhan. Menurut Hanafy Ahmad, karena sifat sedemikian,
Ia dapat mengalir dan beterbangan di udara seperti mengalir dan beterbangan al-sahab.
Agar tidak
terjadi kekeliruan dalam menangkap maksud kata dukhan yang dihubungkan
dengan proses penciptaan alam semesta, maka seharusnya kata ini dipahami dengan
hasil temuan sains yang telah dihandalkan kebenarannya secara empiris. Tentu
saja merupakan suatu kesalahan bagi yang mengatakan bahwa ruang alam (al-sama’)
berasal dari materi sejenis dukhan. Berdasarkan dalam surat Al-Fusilat
ayat 11, dukhan tidak menunjukkan suatu materi asal ruang alam (al-sama’),
akan tetapi ia menjelaskan tentang bentuk alam semesta ketika berlangsungnya
fase awal penciptaannya. Hal ini diperkuat dengan hasil temuan ilmuwan bahwa
pada suatu ketika dalam penciptaan terjadinya ekspansi yang sangat cepat
sehingga timbul “kondensasi” proses dimana pemuaian dan gas kehilangan panas
dan akan berubah bentuk menjadi cair. Saat pemuaian dan gas naik ke tempat
lebih tinggi, temperatur udara lingkungan sekitar akan semakin turun
menyebabkan terjadinya proses kondensasi dan kembali ke bentuk cair dan energi
berubah menjadi materi.
Sebagaimana dukhan,
Al-Qur’an juga menunjukkan bahwa zat alir atau sop kosmos (al-ma’) telah
ada sebagai salah satu kondisi terwujudnya alam semesta. Dengan kata lain,
sebelum alam semesta terbentuk seperti sekarang, ia mengalami bentuk atau sifat
semacam zat alir atau sop kosmos.
C. Kesimpulan
1.
Proses penciptaan Alam dimulai dari
penyatuan antara ruang alam dan materi dari sesuatu yang padu (Al-Anbiya’ ayat
30) kemudian terjadi pemisahan oleh allah dengan mengalami proses transisi
membentuk dukhan. Setelah itu ruang alam melebar, meluas, dan memuai
(Adz-Zariyat ayat 47). Proses penciptaan alam berlangsung selama enam periode,
dimana empat periode penciptaan bumi dan dua periode penciptaan langit
(Al-Fushilat ayat 9-12).
2.
Penciptaan alam dalam pandangan
kosmologi modern, secara kronologis alam tercipta bermula dari ruang kosong,
kemudian inti atom padat meledak, lalu menjadi galaksi, dan menjadi
bintang-bintang dengan tata suryanya sendiri-sendiri.
3.
Hubungan antara penciptaan alam
dalam pandangan islam dan sains modern adalah bersesuaian. Keduanya sama sekali
tidak bertentangan sehingga adanya sains modern dapat mengungkap rahasia proses
penciptaan alam yang terdapat dalam Al-Qur’an.
*Berbagai
Sumber